Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

RI Kalah Gugatan Nikel di WTO, APNI Minta Pemerintah Kaji DMO

APNI meminta pemerintah untuk mulai mengkaji kebijakan domestic market obligation (DMO) bijih nikel untuk mengantisipasi putusan WTO soal larangan ekspor nikel
Nikel/Istimewa
Nikel/Istimewa

Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) meminta pemerintah untuk mulai mengkaji kebijakan domestic market obligation (DMO) bijih nikel usai Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) menyatakan Indonesia melanggar ketentuan perdagangan internasional terkait kebijakan larangan ekspor bahan mentah mineral strategis tersebut.

Sekretaris Jenderal APNI Meidy Katrin Lengkey menilai pengaturan DMO akan dapat menjaga peta jalan hilirisasi bijih nikel yang telah ditetapkan pemerintah sejak larangan ekspor bahan mentah itu efektif pada 1 Januari 2020 lalu. Selain itu, pengaturan DMO itu bakal ikut menjamin investasi yang sudah terealisasi di sisi hilir industri nikel domestik.

“DMO itu kan kita tetap bisa cover di dalam negeri tetapi tetap ada kesepakatan untuk ekspor. Namun, tetap harus prioritaskan industri dalam negeri,” kata Meidy saat dihubungi, Kamis (24/11/2022).

Meidy mengatakan, sebagian besar pelaku usaha hulu tambang nikel cenderung memilih pasar ekspor lantaran harga yang lebih menarik ketimbang domestik. Kendati demikian, dia menuturkan, pelaku usaha bakal tetap komitmen untuk menjaga laju investasi dan pengembangan hilir bijih nikel di dalam negeri.

“Per hari ini, kalau kita bicara kadar low grade 1,5 harganya di Indonesia mungkin hanya US$20 hingga US$25, harga di luar US$80, itu kan 3 kali lipat tentu kita pilih pasar ekspor cuma kita harus mendukung regulasi pemerintah,” kata dia.

Seperti diberitakan sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menegaskan pemerintah bakal mengajukan banding untuk putusan panel WTO yang belakangan menyatakan Indonesia melanggar ketentuan WTO terkait dengan kebijakan larangan ekspor dan hilirisasi bijih nikel dalam negeri.

Adapun, laporan final panel pada 17 Oktober 2022 lalu menyatakan Indonesia terbukti melanggar ketentuan WTO Pasal XI.1 GATT 1994 dalam sengketa yang terdaftar pada dispute settlement (DS) 592 tersebut.

Pembelaan Pemerintah Indonesia lewat ketentuan Pasal XI.2 (a) dan XX (d) GATT 1994 berkaitan dengan keterbatasan jumlah cadangan nikel nasional juga ditolak badan pengatur perdagangan internasional tersebut.

“Pemerintah berpandangan bahwa keputusan panel belum memiliki kekuatan hukum yang tetap sehingga masih terdapat peluang banding,” kata Arifin saat rapat dengar pendapat dengan Komisi VII di DPR, Jakarta, Senin (21/11/2022).

Arifin mengatakan, kementeriannya bakal melanjutkan upaya hilirisasi lewat investasi yang lebih intensif pada pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian atau smelter bijih nikel domestik.

“Tidak perlu mengubah peraturan atau bahkan mencabut kebijakan yang dianggap tidak sesuai sebelum keputusan diadopsi oleh dispute settlement body, kita perlu mempertahankan kebijakan hilirisasi,” kata dia.

Nantinya, laporan final dari putusan panel itu akan didistribusikan kepada anggota WTO lainnya pada 30 November 2022 mendatang. Setelah itu, putusan panel itu bakal dimasukkan ke dalam agenda dispute settlement body (DSB) pada 20 Desember 2022.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper