Bisnis.com, JAKARTA - Kenaikan suku bunga acuan Amerika Serikat (AS) merupakan bad news bagi Emerging Market Economies (EMEs). Ini menyebabkan tingginya beban utang, terjadinya capital outflow di mana investor mengalihkan investasinya ke aset keuangan AS, depresiasi nilai tukar, dan potensi krisis keuangan EMEs.
Bank sentral AS, The Fed menaikkan Federal Fund Rate (FFR) pada 2 November 2022 sebesar 75 basis points atau 0,75 persen. FFR naik dari 3,0 persen–3,25 persen menjadi 3,75 persen–4,0 persen. FFR adalah suku bunga pinjaman antarbank AS berjangka pendek (overnight).
Langkah The Fed sudah diprediksi sebelumnya mengingat inflasi AS sangat tinggi. Jauh dari target inflasi tahunan sekitar 2 persen. Meskipun demikian, trend inflasi AS menurun dari 8,3 persen pada kuartal II/2022 menjadi 8,2 persen pada kuartal III/2022. Inflasi AS lebih baik dari zona Euro sekitar 10,7 persen pada kuartal III/2022.
Ekonom senior Harvard Kennedy School dan mantan Menteri Keuangan AS Larry Summers mendukung langkah agresif The Fed menaikkan FFR untuk menekan inflasi menuju 2 persen dalam 2 tahun ke depan. Langkah agresif dipilih meskipun trade off-nya pengangguran akan naik menjadi 4,4 persen dari saat ini 3,5 persen.
Kebijakan moneter ketat AS berdampak langsung ke EMEs, termasuk Indonesia. Peningkatan FFR mendongkrak suku bunga EMEs, harga obligasi turun (yield naik) karena permintaan berkurang, dan rebalancing portofolio, investor mengalihkan investasinya ke instrumen keuangan yang lebih aman.
Pengalaman akhir 1980-an pada saat inflasi AS sangat tinggi, dikenal dengan Volcker disinflation, FFR naik ke level tertinggi hingga 20%. Langkah ini hanya mampu menurunkan inflasi 4,9 persen. Volcker disinflation menyebabkan krisis keuangan EMEs.
Kenaikan FFR membuat US treasury yield berjangka 10 tahun ikut naik. Terjadi capital outflow dari EMEs, termasuk Indonesia ke pasar keuangan AS.
Ekonom Federal Reserve Board dan American Enterprise Institute, yaitu Hoek, Yoldas, dan Kamin (2021) menyebutkan bahwa efek penularan dari perubahan kebijakan moneter AS ke EMEs sangat tergantung pada kondisi perekonomian AS yang mendasari kenaikan FFR, dan perkembangan indikator ekonomi makro EMEs.
Kenaikan FFR karena tren pertumbuhan ekonomi AS memiliki efek kecil ke pasar keuangan EMEs. Sementara itu, kenaikan FFR karena inflasi berdampak signifikan ke pasar keuangan EMEs yang mengarah ke krisis keuangan, terjadi capital outflow, depresiasi nilai tukar, dan kenaikan yield obligasi merefleksikan harga rendah karena permintaan melemah.
Impossible Trinity
Robert Mundell dan Marcus Flemming pada 1960-an memperkenalkan konsep impossible trinity atau Mundell-Flemming trilemma yang mendasari pilihan kebijakan moneter internasional suatu negara. Konsep ini menjelaskan hubungan antara kestabilan nilai tukar, kebebasan arus modal, dan independensi kebijakan moneter.
Mudell-Flemming trilemma menyatakan, pengambil kebijakan tidak mungkin mencapai tiga tujuan sekaligus, yaitu kebijakan moneter independen, kebebasan aliran modal, dan kestabilan nilai tukar.
Impossible trinity menawarkan tiga opsi kebijakan. Pertama, mempertahankan kebebasan aliran modal dan independensi kebijakan moneter dalam rezim nilai tukar mengambang bebas.
Kedua, menjamin kestabilan nilai tukar dan kebebasan arus modal, tetapi menghilangkan independensi kebijakan moneter. Ketiga, menjamin kestabilan nilai tukar, dan independensi kebijakan moneter dalam rezim capital control, pengawasan lalu lintas devisa yang ketat.
Opsi kebijakan pertama dalam jangka pendek yang paling realistis bagi Indonesia. Aliran modal tidak dibatasi, menerapkan rezim nilai tukar mengambang bebas, dan kebijakan moneter fokus mencapai target inflasi. Opsi ini berkaitan dengan penyebab depresiasi rupiah per dolar AS, yaitu kenaikan FFR dan Terms of Trade (ToT) AS.
Dalam jangka menengah, memilih opsi kedua dengan menghidupkan ide ASEAN currency union. Opsi ini dapat menjaga kestabilan nilai tukar sekaligus menjamin kebebasan aliran modal, meskipun mengorbankan independensi kebijakan moneter. Opsi ketiga sudah tidak realistis bagi Indonesia terkait dengan isu kredibilitas rezim nilai tukar tetap. Rezim ini rentan serangan spekulan yang menyebabkan krisis nilai tukar.