Bisnis.com, JAKARTA- Tidak hanya produk tekstil (garmen), tren pemutusan hubungan kerja (PHK) juga terjadi di industri alas kaki. Data terbaru Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) menyebut terdapat 25.700 pekerja yang sudah di-PHK.
Direktur Eksekutif Aprisindo Firman Bakrie menjelaskan PHK pekerja tersebut terjadi di industri alas kaki berorientasi ekspor. Penyebabnya, order barang untuk periode November - Desember 2022 mulai menipis.
"Agak terlambat pemerintah menyadari bahwa saat ini di industri alas kaki ada 25.700 karyawan yang di-PHK. Sebab, November-Desember order sudah mulai habis. Sementara, order baru jumlahnya masih kecil," kata Firman kepada wartawan via sambungan telepon, Selasa (8/11/2022).
Dampak penurunan order tersebut, tambah Firman, dikhawatirkan disusul oleh gelombang PHK besar-besaran selanjutnya pada akhir tahun ini ataupun awal 2023.
Sebab, perusahaan retailer ataupun brand-brand di negara tujuan ekspor masih memiliki inventori atau stok produk lama yang cukup besar. Dengan demikian, diperkirakan penurunan permintaan yang signifikan akan terjadi pada semester I/2022.
Menurut perkiraan asosiasi, akan terjadi penurunan permintaan sebesar 50 persen dibandingkan dengan kondisi saat ini sampai dengan paruh pertama tahun depan.
Baca Juga
Belajar dari pengalaman pada April 2020 ketika Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diberlakukan di Tanah Air, diperlukan waktu lebih dari 1 tahun bagi brand-brand alas kaki untuk menghabiskan stok lama dan mulai melakukan pesanan kembali.
"Kami khawatir ini juga akan sama ketika masing-masing brand sedang pegang stok. Kekhawatiran kami kemungkinan bisa sampai 1 tahun, baik itu ekonomi sudah pulih ataupun belum," kata Firman.
Sebagai gambaran, industri alas kaki lokal yang mampu bertahan saat ini menyisakan 50 persen kapasitas produksinya dibandingkan dengan kondisi normal sebelum pandemi Covid-19.
Terkait dengan kondisi itu, pelaku industri alas kaki berharap pemerintah memerlukan fleksibilitas kebijakan dari pemerintah. Terutama, untuk industri alas kaki berorientasi ekspor dengan beban tenaga kerja yang besar.
"Fleksibilitas yang diperlukan, misalnya, pengurangan jam kerja dari 40 jam per pekan menjadi 30 jam per pekan agar pelaku industri bisa meminimalisir PHK," ujarnya.
Fleksibilitas tersebut, sambungnya, diperlukan pelaku industri alas kaki secara temporer selama ketidakpastian ekonomi global masih berlangsung. "Dan itu harus kami evaluasi terus secara berkala," tukasnya.