Bisnis.com, BANDUNG - Pemerintah membuka kemungkinan melakukan larangan terbatas (lartas) terhadap beberapa bahan baku dan produk tekstil menyusul kondisi industri yang sedang memburuk usai mengalami PHK massal.
"Kebijakan lartas menjadi salah satu opsi kami," kata Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita dalam konferensi pers yang diadakan secara daring pada Senin (7/11/2022).
Sebelumnya bisa diterapkan, kata Agus, pelaku industri sektor tekstil dan produk tekstil (TPT) terlebih dahulu mesti melakukan harmonisasi mulai dari hulu, intermediate, hingga hilir, demi memastikan kebijakan itu tepat nantinya.
Dengan kata lain, sambungnya, kebijakan lartas tersebut tidak memengaruhi kinerja segmen-segmen tertentu di industri TPT. "Jangan sampai kami lartas di hulu, malah memengaruhi kinerja intermediate dan hilirnya," jelas Agus.
Sejauh ini, sebanyak 64.000 tenaga kerja industri tekstil yang beroperasi di Provinsi Jawa Barat dilaporkan terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Selain itu, 18 perusahaan juga dilaporkan tutup.
Ketua Umum Perkumpulan Pengusaha Produk Tekstil Provinsi Jawa Barat (PPTPJB) Yan Mei mengatakan pengurangan tenaga kerja terjadi dalam 2 pekan terakhir di sebanyak 124 perusahaan di 14 kabupaten/kota.
Baca Juga
Menurutnya, jumlah tenaga kerja yang terkena pemutusan hubungan kerja berpotensi naik karena berkurangnya order sebanyak 50 persen sejak awal kuartal III/2022. Selain itu, sambungnya, pabrik juga tidak dapat berproduksi maksimal.
Sebagai contoh, pada September hanya 30 persen line produksi yang bekerja maksimal dari total order yang sebelumnya sudah drop separuh. "Kalau bisa mempertahankan line eksisting saja, kami sudah cukup bersyukur," ujarnya.
Dengan kondisi seperti itu, Yang mengaku tidak menginginkan terjadinya PHK ke depannya karena dapat memberikan dampak negatif bagi perusahaan yang saat ini saja sudah kesulitan meng-cover aktivitas produksi.
Yan mengungkapkan hal yang sama juga dialami oleh merek-merek besar seperti Nike dan Victoria Secret yang dikatakan mengalami penurunan penjualan di kisaran 40-50 persen dalam beberapa bulan terakhir.
Resesi ekonomi yang melanda tujuan ekspor utama, yakni negara-negara di Benua Eropa serta Amerika Serikat (AS), dinilai menjadi penyebab utama yang mengurangi penjualan produk tekstil RI.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa Sastraatmadja menambahkan pada Oktober 2022 buyer dari berbagai negara meminta dilakukan penundaan pengapalan barang.
Menurut Jemmy para buyer meminta pengapalan diundur ke November atau paling lama pada awal 2023. Hal ini menjadi pemicu penurunan order garmen Indonesia sebesar 30 persen sejak awal kuartal III/2022.
"Kalau ini tidak diantisipasi, mungkin proyeksi pada awal 2023 akan lebih buruk. Ditambah, industri tidak maksimal karena jam kerja rata-rata pabrik tekstil yang sebelumnya 7 hari seminggu berkurang jadi 5 hari seminggu," kata Jemmy.
Belum lagi, sambungnya, beberapa negara produsen tekstil seperti China, Bangladesh, Vietnam, dan India sedang mengincar Indonesia sebagai pasar ekspor setelah Eropa dan AS dilanda masalah ekonomi.
Dengan pelemahan di Eropa dan AS, jelas Jemmy, negara-negara tersebut akan mencoba mencari pasar baru, termasuk Indonesia sebagai negara dengan penduduk terbesar ke-4 di dunia.
"Kami berharap jangan sampai Indonesia makin dibanjiri produk impor sehingga produsen asli RI tidak mendapatkan pasar di negara sendiri," tuturnya.