Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Intip Strategi BI Atasi Dampak dari Gejolak Ekonomi Global

“Kami berpendapat perekonomian Indonesia memiliki probabilitas yang rendah untuk mengalami resesi ke depan.
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Destry Damayanti. Bisnis/Himawan L Nugraha
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Destry Damayanti. Bisnis/Himawan L Nugraha

Bisnis.com, JAKARTA — Bank Indonesia (BI) terus mengoptimalkan bauran kebijakan untuk mengantisipasi dan menahan dampak dari gejolak ekonomi global yang tinggi.

Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Destry Damayanti menyampaikan bahwa dunia saat ini menghadapi ketidakpastian yang sangat tinggi, dan akan menyebabkan tekanan tidak hanya pada negara maju, bahkan juga negara berkembang.

“Bisa kita lihat episentrum dari terjadinya gejolak volatilitas saat ini ada di negara maju, dalam hal ini kita bisa lihat Amerika Serikat [AS], bagaimana mereka menghadapi tekanan inflasi yang tinggi dan kemudian direspons dengan kebijakan suku bunga yang sangat agresif,” katanya, Jumat (21/10/2022).

Situasi tersebut kata Destry menimbulkan tekanan tidak hanya pada ekonomi AS, tetapi juga ke ekonomi negara maju dan negara berkembang, termasuk Indonesia.

Kondisi ketidakpastian tersebut semakin diperparah dengan adanya tensi geopolitik, fenomena heatwave di sejumlah negara, implementasi kebijakan proteksionisme, dan kebijakan zero Covid-19 di China yang menyebabkan perlambatan ekonomi di negara itu.

Meski demikian, Destry mengatakan bahwa perekonomian Indonesia masih sangat baik, tercermin dari pertumbuhan ekonomi kuartal II/2022 yang tercatat sebesar 5,44 persen.

Pertumbuhan yang kuat tersebut didukung oleh membaiknya konsumsi masyarakat, investasi serta kinerja ekspor yang meningkat tinggi.

“Perekonomian kita di kuartal II/2022 kemarin masih bisa tumbuh diatas 5 persen dan kami perkirakan sepanjang 2022 perekonomian masih akan tumbuh pada kisaran 4,5—5,3 persen,” katanya.

Dia menyampaikan bahwa BI akan terus mengupayakan bauran kebijakan yang dimiliki saat ini, baik kebijakan moneter, makroprudensial, sistem pembayaran, pengembangan ekonomi dan keuangan syariah, hingga pendalaman pasar uang.

“Kebijakan moneter kami tetap arahkan untuk menjaga stabilitas, sementara kebijakan makroprudensial, sistem pembayaran ekonomi syariah, dan pendalaman pasar uang kami arahkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Kami akan terus berkoordinasi erat dengan pemerintah dan KSSK,” katanya.

Pada kesempatan berbeda, Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menyampaikan bahwa perekonomian Indonesia memiliki probabilitas yang rendah untuk mengalami resesi ke depan. 

Pasalnya, perekonomian domestik masih ditopang oleh konsumsi masyarakat yang diperkirakan terus menguat. Hal ini tercermin dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang diperkirakan akan tetap berada di zona optimis ke depan.

“Kami berpendapat perekonomian Indonesia memiliki probabilitas yang rendah untuk mengalami resesi ke depan. Kami perkirakan hanya akan terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi kedepannya,” kata dia.

Menurutnya, untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat ke depan, pemerintah perlu mempercepat dan memperluas penerima bantuan sosial agar daya beli masyarakat tidak menurun jauh akibat inflasi yang tinggi.

Selain itu, pemerintah juga harus menjaga distribusi pangan, serta memberikan insentif bagi pengguna transportasi umum agar kenaikan tarif transportasi tidak terlalu besar.

Sementara itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan bahwa fenomena triple crisis saat ini perlu terus diwaspadai. Ekonomi di banyak negara bahkan terancam mengalami stagflasi.

Situasi yang perlu menjadi perhatian utama terutama adalah laju inflasi yang melonjak tinggi akibat krisis pangan dan energi, yang sebelumnya telah dipicu oleh gangguan rantai pasok global.

Selain itu, fenomena lainnya yang perlu diantisipasi adalah krisis lingkungan, di mana terjadi bencana alam di sejumlah negara yang frekuensinya semakin cepat dan ini dikhawatirkan pula akan menghambat aktivitas perekonomian, serta ketegangan geopolitik.

“Krisis sekarang ini tanda-tandanya menyerupai krisis pada 1970-an, di mana ada perang, hiperinflasi, stabilitas politik terguncang, hingga kenaikan harga komoditas yang sulit diprediksi,” kata dia.

Menurutnya, pemerintah dan otoritas terkait perlu mengantisipasi gejolak global tersebut agar dampaknya ke dalam negeri tidak terlalu besar. Pertama, yaitu dengan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, yaitu dengan memaksimalkan devisa hasil ekspor yang dikonversi ke rupiah dan ditahan di bank domestik.

Kedua, meningkatkan pasokan pangan lokal dan mengurangi ketergantungan pada impor pangan. Ketiga, memberikan stimulus ke sektor yang paling terdampak, misalnya properti dan otomotif dengan subsidi uang muka dan program subsidi bunga.

Keempat, mendorong perluasan akses pasar UMKM dengan digitalisasi sehingga kemampuan serapan kerja sektor ini menjadi meningkat.

Kelima, relaksasi tarif PPN dari 11 persen, diturunkan menjadi 8 persen untuk mendorong belanja kelas menengah, serta percepatan transisi energi dengan pembukaan lapangan kerja baru di sektor kendaraan listrik dan energi baru terbarukan.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Maria Elena
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper