Bisnis.com, JAKARTA - Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mengatakan pelaku usaha akan berhati-hati dalam melakukan ekspansi produksi dan ekspansi usaha ke pasar internasional di tengah pelemahan rupiah saat ini.
Hal ini yang menyebabkan kinerja ekspor Indonesia pada September 2022 menurun 10,99 persen dibandingkan Agustus 2022. Adapun, rupiah saat ini terus anjlok berada di level Rp15.480 per dolar AS.
Wakil Ketua Kadin Shinta Widjaja Kamdani mengatakan dalam rangka mengantisipasi pelemahan nilai tukar, yang paling utama dilakukan adalah menjaga stabilitas dan kelancaran arus kas (cashflow), khususnya kecukupan valuta asing (valas) yang perlu disirkulasikan agar tidak menganggu kinerja perusahaan secara berlebihan.
Dia membeberkan hal tersebut khususnya dilakukan oleh perusahaan-perusahan yang memiliki aktifitas ekspor, meski tidak besar atau perusahaan yang bisa menagihkan kepada konsumennya dalam mata uang dolar AS.
“Selain itu, beberapa perusahaan juga berupaya melakukan transaksi perdagangan dengan local currency untuk mengurangi beban penggunaan dolar AS. Ini tentu saja tidak akan menghilangkan beban pelemahan rupiah, tetapi setidaknya bisa menahan kenaikan beban usaha perusahaan,” ujar Shinta kepada Bisnis, Senin (17/10/2022).
Shinta mengungkapkan, di pasar domestik pelaku usaha tidak terlalu mengkhawatirkan karena kepercayaan pasar masih cukup stabil dan cenderung meningkat hingga akhir tahun. Namun, untuk ekspor, pelaku usaha akan cenderung berhati-berhati.
“Pelaku usaha lebih confident untuk melakukan ekspansi ekspor dengan partner dagang/buyers yang sudah lama dikenal dibandingkan buyers baru untuk meminimalisir risiko gagal bayar,” ujarnya.
Diberitakan sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai ekspor Indonesia pada September 2022 mengalami kelesuan atau menurun 10,99 persen dibandingkan Agustus 2022. Pada September 2022, total eskpor Indonesia mencapai US$24,80 miliar. Tidak hanya ekspor, nilai impor September 2022 juga turun sebesar 10,58 persen dibandingkan Agustus 2022.
Menurut Shinta, penurunan tersebut di tengah efek pelemahan nilai tukar dalam industri manufaktur akan berbeda-berbeda. Hal ini, kata Shinta, karena selain melihat besaran impornya perlu dilihat juga apakah ada atau bisa produk impornya disubtitusi oleh produk lain dari supplier domestik atau supplier lain yang bisa memberikan suplai yang relatif kompetitif dalam takaran level toleransi beban usaha perusahaan seperti dari negara-negara rekan Free Trade Agreement Indonesia.
“Jadi meski memang meningkatkan beban keuangan perusahaan, perusahaan tidak selalu melakukan phasing out harga ke pasar. Justru kenaikan harga ini yang saat ini sebisa mungkin kami tunda atau kami hindari untuk menjaga momentum pasar. Akan tetapi tentu beberapa perusahaan punya keterbatasan sehingga perlu menaikkan harga jual,” jelas Shinta.