Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) masih menunggu kepastian kebijakan dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Kementerian Koordinator Perekonomian terkait penyesuaian harga rumah subsidi yang belum mengalami kenaikan selama 3 tahun.
Kepala Biro Komunikasi Publik Kementerian PUPR Endra S. Atmawidjaja mengatakan pihaknya sudah mengajukan anggaran rumah bersubsidi dan kenaikan hingga 7 persen. Namun, realisasinya masih menunggu kebijakan dari Kemenkeu.
"Kenapa agak lambat karena kan dari [kementerian] keuangan harus menghitung lagi dampak dari kenaikan harga BBM, jangan sekali dikeluarin angkanya langsung tidak valid lagi langsung absolut karena dampak kenaikan BBM. Itu kan bukan hanya solar yang naik seluruh material konstruksi naik, jadi pasti itu terdampak," kata Endra di Media Centre Kementerian PUPR, Kamis (29/9/2022).
Untuk diketahui, sebelum kenaikan harga BBM terjadi, harga material bangunan pun sudah melonjak di angka 20-30 persen. Bahkan harga besi telah naik lebih dari 100 persen.
"Kita sudah siapkan anggarannya, tapi kebijakannya sendiri belum ada, jadi itu juga termasuk yang harus kita bicarakan di level kabinet. Saya sudah pegang angkanya, kalau dari PUPR bisa sekitar 5-7 persen dari nilai kontrak," ujarnya.
Endra mengakui berbagai kenaikan yang terjadi dengan tanpa adanya eskalasi anggaran tentu akan menjadi beban bagi kontraktor dan developer.
"Kita berharap segera bisa dibahas dan ada di level kebijakannya bisa keluar, karena itu bukan hanya dari PUPR. [targetnya] ya secepatnya," ungkapnya.
Diberitakan sebelumnya, mengikuti aturan undang-undang perpajakan yang baru, untuk menetapkan harga rumah bersubsidi termasuk batasan penghasilan penerima subsidi, Kemenkeu harus menunggu penetapan Peraturan Pemerintah (PP) turunan dari UU harmonisasi peraturan perpajakan.
Sementara itu, PP tersebut masih berupa Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang sudah diharmonisasi. Namun butuh persetujuan dari 21 menteri terkait.
Ketua Umum persatuan perusahaan Realestat Indonesia Paulus Totok Lusida mengaku sempat bertanya terkait kapan persetujuan dari 21 menteri tersebut dapat selesai. Namun, dari Kemenkeu masih belum bisa memastikan kapan tenggat waktunya.