Bisnis.com, JAKARTA - Momok resesi ekonomi dunia terbawa ke jurang lebih dalam di paparkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam pertemuan bulanan APBN Kita September 2022.
Mencermati data-data yang muncul di tampilan layar, Sri Mulyani menekankan tentang kondisi perekonomian dan pergolakan yang sedang terjadi.
"Komoditas global, masih mengalami volatilitas yang sangat tinggi. Kita melihat sekarang kenaikan dan penurunan dari berbagaai harga komoditas sudah pada dinamika yang luar biasa," kata Sri Mulyani yang dikutip Selasa (27/9/2022).
Dia mengatakan, setiap pernyataan terkait Rusia dan Eropa terkait energi selalu membawa sentimen. Baik gas, minyak hingga batu bara. Secara bersamaan ragam komoditas yang diperdagangkan di pasar keuangan mulai dari gandum, kelapa sawit termasuk jagung dan jagung juga berfluktuasi.
"Artinya pasar komoditas ini mencerminkan ketidak pastian yang terjadi di pasar keuangan dan dampak bagi negara seluruh dunia. Kenaikan komoditas telah menyebabkan inflasi tinggi," katanya lebih lanjut.
Atas fluktuasi ini, salah satu Menteri Keuangan terbaik dunia itu menyebutkan bahwa inflasi tinggi menjadi hal yang jamak di temui di negara maju. Bahkan Eropa, Inggris hingga Amerika Serikat inflasinya sudah di atas 8 persen.
Baca Juga
Tingginya inflasi yang berarti kenaikan tajam harga barang di masing-masing negara akan berakibat penurunan kesejahteraan. Saat yang sama, bank sentral di seluruh dunia mengambil kebijakan ekstream untuk menaikkan batas suku bunga acuan secara agresif.
"Bank Dunia sudah menyampaikan bank sentral di seluruh dunia melakukan kenaikan suku bunga secara ekstrim dan bersama - sama maka dunia pasti mengalami resesi di tahun 2023," katanya.
Sri Mulyani mencontohkan bank sentral yang menaikkan suku bunga secara tajam seperti Amerika Serikat, Inggris, Eropa hingga Brazil.
Dia mengatakan, kondisi inflasi dan kenaikan suku bunga ini adalah suatu tren yang pasti memberi dampak akan kinerja pertumbuhan ekonomi. " Inilah yang sedang terjadi, kenaikan suku bunga secara cepat dan ekstrim di negara maju dan itu akan memukul pertumbuhan ekonomi di negara tersebut," katanya.
Sri Mulyani yang pernah menjabat sebagai Managing Director Bank Dunia itu menyebutkan bahwa jika dilihat pada kelompok negara ekonomi terbesar dunia (G20) di tambah Asean, maka data perlambatan menjadi lebih terang di data manufakturnya (PMI).
Tercatat hanya 20 persen negara yang bergerak di zona pertumbuhan manufaktur, hanya 1 negara (4 persen) yakni Prancis yang manufakturnya berbalik dari melambat menjadi ekspansi. Sebanyak 32 persen melambat dan 40 persen seperti Jepang, China hingga Eropa berbalik kontraksi atau mengalami perlambatan.