Tiga gubernur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara, kompak meminta pemerintah pusat tak memperpanjang kontrak perusahaan nikel asal Brazil, PT Vale Indonesia Tbk. (INCO). Permintaan itu disampai dalam Rapat Panitia Kerja (PANJA) Vale di DPR-RI. Kontrak Vale memang berakhir pada Desember 2025.
Vale adalah salah satu perusahaan tambang asing yang ijinnya dikeluarkan jaman Orde Baru (1968) dengan payung hukum Kontrak Karya (KK). Menurut Undang-Undang, pemerintah boleh memutuskan atau melanjutkan sebuah KK, dua (2) tahun sebelum masa berakhir kontrak, karena terkait pertimbangan investasi. Artinya, tahun 2023 ini, pemerintah bisa memberikan keputusan kepada Vale apakah diperpanjang atau tidak.
Tiga gubernur di atas rupanya ingin menjemput bola dan ingin mendapat sokongan politik DPR melalui PANJA agar mengontrol konsensi Vale. Bagi mereka, topangan politik parlemen dengan dukungan Partai Politik penting untuk mengembalikan kedaulatan tambang daerah.
Tiga gubernur itu dengan entengnya juga meminta agar konsensi tambang Vale mulai dari Sorowako (Sulawesi Selatan), Bahodopi (Sulawesi Tengah) sampai Pomala (Sulawesi Tenggara) diserahkan ke pemerintah daerah agar tambang bermanfaat untuk kesejahteraan rakyat daerah.
Mereka juga merasa bahwa keputusan politik di DPR penting bagi pemerintah dalam proses pengambilan keputusan soal perpanjangan kontrak Vale. Padahal, PANJA hanyalah putusan politik. Belum tentu bisa jadikan rujukan bagi pemerintah untuk mengambil keputusan final. Paling banter pemerintah hanya menggunkan itu sebagai bahan evaluasi saja.
Pertanyaan penting tetap saja diajukan untuk tiga gubernur, apakah benar jika konsensi Vale diserahkan ke Pemda, rakyat daerah sejahtera?
Baca Juga
Paradoks Tambang Sulawesi
Ekonom Joseph Stiglitz (2004) mengatakan di daerah yang kaya Sumber Daya Alam (SDA) kerap terjadi paradox of plenty. Artinya di daerah yang kaya SDA, berupa nikel, tembaga, emas, batubara dan bauksit, rakyat itu hidup dalam kubangan kemiskinan. Alasannya jelas, SDA yang berlimpah tak digunakan untuk kesejahteraan rakyat, tetapi untuk kepentingan kesejahteraan korporasi, elit dan pejabat daerah.
Tesis Joseph Stiglitz di atas saya kira masih sangat relevan dengan tiga provinsi yang meminta konsensi nikel milik Vale dikelolah daerah. Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara adalah daerah yang diberkahi SDA berlimpah berupa nikel.
Berdasarkan Booklet Nickel (2022), cadangan nikel terkira di wilayah Sulawesi (sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara) mencapai 529.224.633 ton dari total cadangan nikel Indonesia mencapai 72 juta ton nikel. Wilayah Sulawesi adalah daerah penghasil nikel terbesar di tanah air.
Tak mengherankan jika korporasi-korporasi global menyemut di tiga daerah ini. Di sektor hulu, ratusan perusahaan asing dan local menguasai konsensi di tiga provinsi ini. Jilin Horoc (pemain metal utama Cina ) dan PT Billy Indonesia misalnya mengontrol 13,000 hektar konsensi nikel di Tapuhaka, Kabaena.
Perusahaan yang sama juga mengontrol konsensi seluas 20,000 hektar di Torobulu, Kabaena (Sulawesi Tenggara) dengan total produksi 100,000 ton per tahun. Masih ada Bintang Delapan dan mitra, Dingxin Group yang mengontrol 20 konsensi di Sulawesi Tengah dengan luas konsensi sebesar 54,000 ton dan kapasias produksi 4,7 juta ton nikel per tahun.
Terakhir, Hanson Group /Jianchuan mengontrol 100.000 hektar konsensi di Kanowe Selatan dengan kapasitas produksi sebesar 25 juta ton nikel per tahun. Masih banyak perusahaan-perusahaan domestik yang menguasai lahan konsensi di atas 100,000 hektar, seperti Harita Group, Kodel Group dan Idris Nikel.
Sementara di sektor hilir, banyak pemain-pemain nikel global telah membangun pabrik Feronikel, Nickle Pig Iron di Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara. Selain perusahaan milik negara (BUMN), PT Aneka Tambang yang telah membangun pabrik feronikel berkapasitas 27,000 ton di Pomala, ada juga raksasa Tiongkok Morowali Industrial Park (IMIP), yang sukses mengontrol hampir 50 persen industri hilir nikel di tanah air.
IMIP dikembangkan perusahaan Cina, Decent Group dan perusahaan Indonesia, Bintang Delapan Group. IMIP telah membangun pabrik smelter di Morowali, Sulawesi Tengah Bersama PT Sulawesi Mining Investment (SMI) dengan kapasitas pabrik smelter berkapasitas 300.000 ton per tahun ferronickel.
IMIP juga melalui PT Indonesia Guang Ching and Stainless Steel Industry (GCNS) telah membangun pabrik feronikel berkapasitas 600.000 ton per tahun ferronikel. Masih banyak lagi raja-raja nikel dunia yang beroperasi di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah yang tak bisa dirinci dalam tulisan kecil ini.
Contoh-contoh di atas hanya ingin mengatakan bahwa Sulawesi adalah rumah bagi industri nikel dan pusat pertarungan korporasi global-lokal mencari untung. Pertanyaannya adalah siapa yang memberikan ijin konsensi kepada ribuan perusahaan global-lokal yang beroprasi di tiga wilayah ini?
Berbeda dengan Kontrak Karya Vale yang ijinnya diberikan pemerintah pusat, puluhan ribu ijin tambang yang menyebar di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah itu ijinnya dikeluarkan pemerintah daerah, provinsi dan kabupaten. Karena sebelum revisi UU No.3 Tahun 2020, tentang mineral dan batubara, daerah itu masih memiliki kauasa penuh mengeluarkan izin tambang.
Korupsi Izin Tambang
Daerah bisa deal dengan korporasi dari seluruh penjuru dunia tanpa intervensi pemerintah pusat. Tak mengherankan jika ratusan ribu izin tambang itu menyalahi aturan, melanggar tata ruang wilayah dan ilegal. Sebelum UU Minerba di revisi, tiga daerah ini menjadi wilayah banyak korporasi tambang dan actor-aktor politik local. Di tiga wilayah ini, sudah banyak kepala daerah baik bupati maupun gubernur yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi karena korupsi ijin tambang.
Pada awal tahun 2013, bupati (non-aktif) Kolaka Buhari Matta dipenjara karena terlibat dalam penjualan biji nikel berkalori rendah yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp24 miliar. Dia diduga menjual 220.000 biji nikel porsi pemerintah kabupaten kepada PT Kolaka Mining Internasional.
Pada tahun 2017, mantan Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam di tangkap KPK. Nur Alam diduga menerima suap pemberian ijin konsensi tambang dari PT Anugrah Harisima Barakah (ABH) antara tahun 2009-2014. ABH adalah anak usaha PT Billy Indonesia yang adalah rekan bisnis Richorp (Hongkong).
Kasus ini sebenarnya sudah muncul tahun 2014, ketika Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) membuka rekening gendut beberapa kepala daerah, termasuk Nur Alam. Nur Alam diduga menerima dana suap senilai US$4,5 juta dari perusahaan tambang nikel, Richorp tahun 2010 melalui polis ansuransi PT AXA Mandiri.
Perilaku elit lokal seperti ini menurut Daron Acemoglu dan James A.Robinson (2012) menciptakan institusi ekstraktif. Institusi ekstraktif cenderung memonopoli kekuasaan, menumpulkan asa penegak hukum dan membonsai daulat rakyat, hanya untuk mengumpulkan harta.
Mereka abai membangun infrastruktur publik, fasilitas pendidikan dan fasilitas kesehatan. Institusi ekstraktif cenderung menindas rakyatnya. Elit-elitnya hidup dalam kemewahan dan korupsi.
Angkatlah contoh kasus negara miskin di Afrika, Kongo. Setelah merdeka tahun 1960-an, ekonomi Kongo merosot tajam, karena pemerintahan Joseph Mbotu, membiarkan rakyat melarat. Mbotu hidup bergelimang harta, sementara rakyat menderita. Ia membangun istana di Gbadolif, tanah kelahirnya,dilengkapi bandara dan pesawat Jet Supersonik Concorade, yang disewa dari Air France untuk bepergian ke Eropa. Di Eropa, Mbotu memiliki banyak tanah, seperti di Brussel, hasil memeras rakyatnya sendiri.
Jika kita menelusuri secara cermat semua aset dan kekayaan Pemda di daerah Sulawesi, saya kira hampir mirip dengan kekuasaan Mbotu di Kongo. Banyak sekali Pemda di sana yang memiliki rumah mewah di kota metropolis dan menumpuk rekening gendut hasil penjualan konsensi SDA. Upaya melacak aset pejabat daerah membutuhkan kerja ekstra-keras dari aparat penegak hukum, seperti KPK dan didukung penuh pemerintah.
Kasus Nur Alam dan mantan bupati Kolaka di atas adalah puncak gunung es korupsi di tiga wilayah kaya nikel ini. Banyak konsensi tambang diberikan pemerintah daerah di tiga wilayah ini bermasalah. Banyak LSM lokal telah melaporkan dugaan korupsi perusahaan tambang di tiga wilayah in, seperti korupsi pemberian konsensi kepada PT Sambas Mineral Mining di Konowe Selatan. Namun, karena daya jangka KPK menjangkau daerah terbatas, maka banyak kepala daerah yang merasa bebas dari korupsi tambang.
Bupati dan kepala daerah di wilayah-wilayah itu kaya raya, sementara rakyat hidup dalam kubangan kemiskinan. Tak ada bukti tambang nikel yang kaya raya di daerah itu bisa membuat rakyat daerah sejahtera. Angka kemiskinan di Sulawesi Tengah mencapai 12,28 persen, Sulawesi Tenggara mencapai 11,74 persen. (Baca: BPS:2021)
Angka pengangguran juga sangat tinggi dan banyak rakyat yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Tak ada bukti rakyat di daerah itu kaya dari hasil tambang. Yang terjadi adalah lingkungan rusak, deforestasi dan banyak lahan warga dikonversi menjadi wilayah tambang. Ironis memang! Daerah kaya nikel, seperti Sulawesi rakyat masih melarat. Itu semua terjadi karena banyak kepala daerah menjadikan konsensi tambang sebagai mesin pencari harta.
Saya sama sekali tak pernah percaya jika tambang nikel sekelas Vale diserahkan ke daerah. Tiga daerah di atas tak memiliki kompetensi mengolah tambang nikel. Konsensi nikel milik Vale di Sorowako (East Block dan West Block) misalnya, termasuk salah satu pengolahan tambang nikel terbaik dengan memperhatikan lingkungan dan masyarakat setempat.
Meskipun tambang Sorowako beroperasi di tengah kota, tetapi tambang ini telah dirancang sedemikain aman, sehingga tak mengganggu kehidupan warga. Warga Sorowako dan sekitarnya justru banyak mendapat manfaat dari beroperasinya Vale di daerah itu. Kota Sorowako dibuat lebih rapi, infrastruktur diperhatikan, Vale juga memiliki bandara yang bisa dinikmati masyarakat, rumah sakit dan transportasi umum dibuat baik.
Dari segi penerimaan negara, Vale adalah salah tambang nikel yang menjadi andalan negara setiap tahun. Pajak dan royalti yang dibayar ke negara dan daerah sangatlah besar. Tahun 2021 saja, sumbangan pajak Vale mencapai Rp2 triliun dan pajak daerah Sulawesi Selatan sebesar US$9,9 juta dan kabupaten Luwu Timur (wilayah operasi) mencapai US$13 juta. Hampir setiap tahun kontribusi pajak Vale ke negara hampir stabil apalagi jika harga nikel global meningkat seperti sekarang.
Perusahaan ini tak seperti perusahaan domestik yang sering menunda pembayaran pajak atau bahkan ada yang mencoba bermanuver mengurangi pajak ke negara dan berbagai proses akuntansi yang rapi. Vale sangat menjaga reputasinya dalam hal membayar pajak ke negara dan daerah. Dari bukti pengolahan tambang nikel di Sorowako selama ini, Vale ini adalah salah satu perusahaan asing yang layak diperpanjang kontraknya.
Jika memang pemerintah daerah ingin mendapatkan saham Vale, cara terbaik adalah membeli 11 persen saham Vale yang belum didivestasikan ke pihak dalam negeri menurut perintah UU No.3. Tahun 2022, tentang Mineral dan Batubara. Berdasarkan perintah UU, perusahaan asing yang sudah berproduksi selama 5 tahun wajib mendivestasikan sahamnya ke pihak domestik.
Saham Vale saat ini dimiliki Vale S.A sebesar 44 persen, Sumitomo Metal Mining sebesar 15 persen, MIND ID sebesar 20 persen dan sudah dilepas ke public di pasar modal sebesar 20 persen. Dengan demikian, saham Vale saat ini sudah dilepas ke pihak domestic sebesar 40 persen. Artinya, sisa 11 persen lagi yang harus diserahkan ke pihak nasional, baik BUMN maupun BUMD dengan harga sesuai valuasi perusahaan.