Bisnis.com, JAKARTA- Industri hasil tembakau (IHT) menjadi salah satu industri yang berkontribusi besar bagi perekonomian negara. Pada 2021 penerimaan negara dari cukai hasil tembakau atau cukai rokok mencapai Rp 188,81 triliun.
Namun di balik kontribusinya yang besar, terdapat regulasi yang menghambat ekosistem pertembakauan. Salah satunya yakni regulasi terkait cukai rokok.
Menanggapi isu tersebut, Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta bersama Thinkway.id menyelenggarakan diskusi publik bertemakan “Ada Apa Dengan Cukai?” pada Jumat (16/9/2022).
Wakil Dekan 3 Fakultas Adab dan Humaniora, Usep Abdul Matin, Ph.D. dalam sambutannya mengatakan bahwa tembakau memiliki nilai penting dalam berbagai aspek, mulai dari ekonomi, sosial hingga budaya. Sehingga penting untuk dikaji oleh para mahasiswa.
“Saya sangat mengapresiasi kegiatan diskusi ini. Kampus dalam semangat kampus merdeka dan merdeka belajar memang harus mengkaji berbagai pengetahuan, termasuk isu-isu seputar tembakau,” ujarnya, dikutip dari siaran pers yang diterima, Senin (19/9/2022).
Diskusi dimulai dengan pembahasan mengenai sejarah cukai hasil tembakau di Indonesia yang dipaparkan oleh pegiat media sosial dan pencinta sejarah, Mazzini. Ia menjelaskan bahwa cukai hasil tembakau diterapkan di Indonesia sejak era Hindia Belanda tepatnya pada tahun 1935 lewat Staatsblad nomor 517.
Baca Juga
“Sebelumnya tidak ada regulasi cukai, tembakau hanya komoditas perdagangan ekspor. Tapi seiring tumbuhnya industri pengolahan tembakau rumahan, pemerintah kolonial baru sadar kalau ada potensi ekonomi di dalam negeri,” ujar Mazzini.
Namun menurut Mazzini, sepanjang sejarah kebijakan cukai rokok memang tidak pernah ada keberpihakan terhadap konsumen, mulai dari era kolonial hingga penyesuaiannya saat ini.
“Sejak dulu, sejatinya kebijakan cukai memang tidak memiliki keberpihakan terhadap konsumen, dan selalu menjadi hambatan bagi industri hasil tembakau”, kata Mazzini.
Sementara itu dari sisi kebijakan publik, pengamat kebijakan publik Henry Thomas Simarmata menjelaskan kebijakan cukai hasil tembakau didasari atas semangat pemerintah yang berusaha menangkap pergerakan ekonomi dari sektor pertembakauan.
“Semangat awalnya seperti itu, tapi regulasi cukai hasil tembakau selalu menjadi polemik karena ketidakselarasan antara pemerintah dan kondisi yang dialami di sektor pertembakauan,”ujar Henry.
Menurut Henry, ketidakselarasan ini terjadi karena terdapat proses yang berulangkali ditinggalkan oleh pemerintah, yakni pelibatan serta pemberian masukan dari mata rantai industri hasil tembakau terhadap kebijakan cukai hasil tembakau.
“Dalam pengambilan kebijakan cukai, seharusnya ada negosiasi antara kelompok petani dan konsumen kepada pemerintah. Karena itu merupakan prinsip dasar dari kebijakan publik yang memilliki dampak pada masyarakat luas, terutama sektor pertembakauan”, ujarnya.
Henry juga mengungkapkan bahwa ada tekanan yang besar dari internasional mengenai kebijakan sektor pertembakauan di Indonesia. Salah satunya adalah melalui Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).
“Di forum-forum internasional, Indonesia selalu mendapat sorotan terkait kebijakan tembakau. Untuk melawan ini, Indonesia harus memiliki kajian yang komprehensif terkait kepentingan kita terhadap tembakau,” tegas Henry.