Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah akan menerbitkan pembiayaan utang Rp696,3 triliun pada 2023, menjadi sumber utama pembiayaan anggaran. Pengelolaan beban utang dilakukan di antaranya dengan penerbitan utang jangka menengah dan panjang.
Berdasarkan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2023, pembiayaan utang ditargetkan senilai Rp696,3 triliun. Pembiayaan investasi tercatat negatif Rp176 triliun dan dengan penerbitan lainnya membuat total pembiayaan anggaran ditargetkan Rp598,2 triliun.
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfirman menyebut bahwa rencana penerbitan utang 2023 memiliki nilai yang lebih rendah dari outlook utang 2022, yakni Rp757,6 triliun. Menurutnya, hal tersebut menjadi bagian dari pengelolaan utang dalam rangka konsolidasi fiskal.
"Kami lihat dua hal, bagaimana tentang biaya dari utang tersebut, dan jangan lupa juga soal risikonya, itu yang kami coba kelola," ujar Luky dalam rapat panitia kerja Badan Anggaran DPR, Senin (12/9/2022).
Pemerintah diuntungkan dengan kerja sama dengan Bank Indonesia (BI) dalam penerbitan surat keputusan bersama (BI). Menurut Luky, kerja sama itu membantu pemerintah dalam mengendalikan beban bunga di tengah tingginya kebutuhan dana penanganan pandemi Covid-19.
Luky menyebut bahwa pengendalian risiko berasal dari penerbitan utang dalam tenor jangka menengah dan panjang, serta penguatan utang dalam denominasi rupiah. Dia menyebut bahwa utang jangka pendek cenderung berisiko, meskipun terbilang murah.
Utang dengan jatuh tempo di bawah 1 tahun menurutnya hanya mencakup 6,8—6,9 persen dari total utang pemerintah. Oleh karena itu, Kemenkeu akan fokus menarik utang dengan tenor jangka menengah agar lebih aman.
"Kalau kita dapat murah kita bisa saja mengambil yang tenor pendek, tetapi itu sangat berisiko. Itu yang kami kelola.
Misanya, kita lihat, rata-rata jatuh tempo kita itu saat ini ada di kisaran 8,7 tahun, sangat aman," kata Luky.
Selain itu, dari sisi nilai tukar, kondisi saat ini sudah cenderung lebih baik dari posisi lima tahun lalu. Luky menyebut bahwa saat ini porsi utang dengan denominasi rupiah telah mencapai 70 persen, sedangkan lima tahun lalu masih berkisar 60 persen atau porsi utang valas sangat tinggi.
"Hukum ekonomi itu kan kalau supply-nya menerbitkan lebih sedikit tadi, kita bisa menekan harganya dan yield-nya tadi. Itu bagian dari konsolidasi fiskal," kata Luky.