Bisnis.com, JAKARTA - Pada 14 Agustus 2022, Indonesia mendapatkan penghargaan dari International Rice Research Institute (IRRI) sebagai negara yang mampu menjaga ketahanan pangan nasional khususnya beras.
Sejak 2019 sampai dengan 2021, tercatat Indonesia mampu memenuhi kebutuhan berasnya secara mandiri. Swasembada beras ini menjadi bagian yang sangat penting dalam menciptakan ketahanan nasional. Dari sisi produksi, melalui pembangunan infrastruktur pertanian seperti pembangunan bendungan, embung, dan saluran irigasi, pemerintah berhasil meningkatkan produktivitas lahan sawah dari rata-rata 5,1 ton Gabah Kering Giling (GKG) per hektare menjadi sekitar 5,4 ton GKG per hektare (ha).
Di waktu yang sama, pemerintah juga berhasil mengubah pola perilaku konsumsi bahan pangan masyarakatnasi menjadi bahan pangan non-nasi seperti gandum dan produk turunannya (mi dan roti). Perubahan pola konsumsi ini mengakibatkan permintaan masyarakat terhadap beras mengalami penurunan yang cukup signifikan.
Menurut data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), sejak 2011 rata-rata konsumsi beras per kapita per tahun mengalami penurunan. Rata-rata konsumsi beras per kapita per tahun pada 2011 mencapai 113,72 kg dan pada 2019 hanya tinggal 103,74 kg. Dengan penurunan rata-rata konsumsi beras tersebut maka kebutuhan beras per tahun lebih rendah dari nilai produksinya.
Ketahanan pangan di industri perberasan sangat dipengaruhi oleh struktur pasar dan tata niaga beras. Selama ini, struktur pasar perberasan di Indonesia sangat rapuh dan sensitif terhadap perubahan. Produksi dan pasokan beras bisa berubah dalam waktu singkat.
Jika dirasa menanam padi bisa menguntungkan, maka petani akan dengan sukarela menanam padi di lahan sawahnya. Sebaliknya, jika menanam padi dirasa tidak menguntungkan maka para petani akan mengubah komoditas tanamannya menjadi komoditas non-padi seperti palawija dan hortikultura.
Struktur pasar yang rapuh ini diperparah dengan pola penguasaan lahan sawah oleh petani yang sangat sempit. Jumlah petani lahan sawah sangat besar, namun penguasaan lahannya sangat kecil yaitu berkisar antara 0,25 sampai dengan 0,5 ha. Dengan penguasaan lahan tersebut maka sebenarnya petani tidak pernah mencapai skala usaha yang ekonomis.
Dengan kondisi struktur pasar yang rapuh dan rentan terhadap perubahan, maka tantangan terbesar dalam industri perberasan adalah menjaga kesinambungan produksi. Pemerintah harus mampu menjaga tingkat produksi supaya tidak mengalami penurunan. Petani padi harus dijaga supaya tetap mau menanam padi dan tidak beralih ke komoditas lain.
Untuk mempertahankan minat petani maka pemerintah harus menjamin bahwa harga jual GKG di tingkat petani tetap menguntungkan dan bebas dari intervensi para pemburu rente yang selama ini selalu menjadi momok menakutkan dalam tataniaga perberasan di Indonesia.
Bahkan sejak Indonesia mampu berswasembada beras dalam tiga tahun terakhir, sepak terjang pemburu rente tidak pernah berkurang. Para pemburu rente tetap bergerilya mencoba melakukan penguasaan pasar di sektor hulu sambil mencoba mengintegrasikan dengan sektor hilir.
Di sektor hulu, para petani ditawari dengan harga beli GKG yang lebih tinggi dengan tujuan menguasai pasar dan sekaligus mematikan pemain lain. Dalam jangka pendek, petani dapat memperoleh keuntungan yang sedikit lebih besar dan dapat menaikkan Nilai Tukar Petani (NTP).
Namun dalam jangka panjang, penguasaan pasar oleh para pemburu rente ini akan menghilangkan daya tawar petani. Para petani padi tidak akan memiliki alternatif pasar dalam menjual GKG hasil produksinya.
Para petani hanya akan dihadapkan pada satu pilihan harga sehingga petani akan cenderung untuk selalu dirugikan.
Dalam kondisi ini maka akan banyak petani padi yang beralih ke komoditas lain. Tingkat produksi padi akan turun tajam dan beras impor akan kembali membanjiri pasar.
Oleh karena itu, sepak terjang pemburu rente di sektor hulu ini mutlak harus dibatasi bahkan dihilangkan jika pemerintah memiliki keinginan untuk menciptakan ketahanan pangan secara berkesinambungan. Jika para pemburu rente dibiarkan leluasa menguasai pasar di sektor hulu maka kejadian tahun 1985 akan kembali terulang di mana ketahanan pangan hanya bertahan sebentar.
Dengan alasan menjaga stabilitas harga pangan, keran impor beras akan kembali terbuka lebar. Impor beras dirasa jauh lebih menguntungkan karena harga beras impor jauh lebih murah dibanding harga beras petani lokal.
Ketika sektor hulu sudah dikuasai, maka penguasaan pasar di sektor hilir oleh para pemburu rente menjadi hal yang pasti terjadi. Pasokan beras hanya diarahkan untuk memenuhi kebutuhan para pemburu rente sehingga para pelaku usaha lain tidak akan memperoleh input produksinya.
Pada titik ini maka pemburu rente telah berhasil menjadi monopolis yang mutlak menguasai pasar dari mulai sektor hulu sampai hilir.
Jika para pemburu rente berhasil menguasai pasar dari hulu sampai hilir, maka ketahanan pangan yang berkesinambungan hanya akan menjadi cerita dan angan-angan yang tidak akan pernah tercapai.
Jika ketahanan pangan tidak tercapai maka jangan berharap ketahanan nasional akan terwujud secara kuat dan sempurna.