Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan bahwa situasi pada tahun depan masih akan sangat menantang bagi keuangan negara atau APBN dan perekonomian domestik karena ancaman tidak hanya berasal dari sisi perekonomian, tetapi juga dari sisi keamanan dan politik global.
Oleh karena itu, Sri Mulyani mengatakan APBN masih akan berperan sebagai shock absorber, terutama dari sisi inflasi global yang akan memberikan dampak kenaikan harga di dalam negeri, akibat peningkatan harga komoditas global.
“Semuanya mengalami tekanan cost yang sangat melonjak, karena bahan dasarnya melonjak tinggi akibat krisis energi. Ini yang di-absorb pemerintah dalam bentuk kenaikan subsidi kompensasi dan diberikan dalam bentuk bansos ke kelompok rentan,” katanya dalam rapat kerja bersama dengan Komisi XI DPR RI, Senin (5/9/2022).
Dia mengatakan, ancaman kenaikan risiko inflasi global yang menyebabkan likuiditas mengetat akan meningkatkan beban biaya (cost of fund/CoF) surat utang negara (SUN). Dengan demikian, pengendalian defisit dan utang negara menjadi penting agar risiko tersebut dapat lebih dijaga terhadap APBN dan perekonomian domestik.
Lebih lanjut, imbuhnya, pertumbuhan penerimaan perpajakan dari tahun ke tahun juga menunjukkan ada dinamika, terutama disebabkan oleh commodity boom, pemulihan ekonomi, globalisasi, termasuk kondisi pandemi Covid-19.
“Kita melihat ke depan dengan situasi global yang kami sampaikan, maka proyeksi 2023 kita harus sangat hati-hati supaya kita bisa menjaga berbagai kemungkinan situasi yang tidak menentu,” kata dia.
Baca Juga
Dengan kondisi yang tidak menentu ke depan, pemerintah pun menargetkan pertumbuhan yang konservatif pada penerimaan perpajakan 2023, yaitu sebesar 4,8 persen menjadi Rp2.016,9 triliun.
“Pertumbuhan tahun depan diperkirakan 4,8 persen, relatif konservatif karena kita lihat pertumbuhan dari 2021 dan 2022 akan ternormalisasi dengan ancaman terjadinya resesi global dengan inflasi yang tinggi dan kenaikan suku bunga,” tuturnya.