Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) mengatakan sebagian perusahaan memilih untuk melakukan efisiensi belanja pada komponen kesehatan, keamanan, dan lingkungan (HSE) pada kegiatan pengeboran sumur panas bumi.
Koordinator Advokasi dan Legal API Remi Harimanda mengatakan kecenderungan itu belakangan menyebabkan terjadinya sejumlah insiden berulang semburan liar atau blow out gas Hidrogen Sulfida (H2S) dari wilayah kerja panas bumi di dalam negeri.
“Kalau kita mengimplementasikan HSE dengan ketat kan biaya, harus menyiapkan perlengkapan pengeboran itu ekstra,” kata Remi saat dihubungi, Senin (22/8/2022).
Biaya HSE yang relatif besar itu, kata Remi, ikut memengaruhi nilai keekonomian suatu proyek PLTP saat ini. Hanya saja, dia menegaskan, sebagian besar perusahaan yang bergerak pada energi panas bumi telah menerapkan HSE secara ketat.
“Sebetulnya kan ada aturan standarnya sendiri agar tidak terjadi bencana atau fatality,” kata dia.
Seperti diberitakan sebelumnya, Komisi VII DPR RI mendesak Kementerian ESDM untuk mencabut izin jasa pengeboran PT Halliburton Drilling Systems Indonesia menyusul insiden berulang semburan liar atau blow out gas Hidrogen Sulfida (H2S) dari proyek yang dioperasikan PT Sorik Marapi Geothermal Power (SMGP) selama satu tahun terakhir.
Baca Juga
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Maman Abdurrahman menilai sejumlah insiden yang terjadi di beberapa wilayah kerja panas bumi (WKP) dalam negeri disebabkan karena kerja sama yang dijalin operator bersama dengan penyedia jasa yang cenderung menekan ongkos pengeboran. Konsekuensinya, sejumlah aspek berkaitan dengan kualitas perlengkapan dan keamanan dihiraukan.
“Tim komersial mencari kontraktor yang serba murah saja aspek kualitas tidak diperhatikan dan beberapa peralatan operasi yang dibutuhkan itu malah ditanggalkan karena kejar harga murah,” kata Maman saat Rapat Dengar Pendapat dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jakarta, Senin (22/8/2022).