Bisnis.com, JAKARTA - Untuk mengejar target dekarbonisasi, pengembangan panas bumi dinilai menjadi salah potensi yang dapat diakselerasi. Namun, guna memaksimalkan potensi sumber daya panas bumi di dalam wilayah yang besar, dukungan regulasi diperlukan guna meningkatkan nilai keekonmomiannya.
Presiden Direktur PT Pertamina Geothermal Energy Ahmad Yuniarto mengatakan perlu ada akselerasi ekstra dari dari pemerintah selaku regulator, tidak hanya mengandalkan pelaku usaha. Pengembangan panas bumi dan green hiydrogen membutuhkan dana yang tidak sedikit sehingga ini menjadi tantangan yang harus dijawab oleh Dia menjelaskan pihaknya sudah menjalin koordinasi dengan beberapa Kementerian untuk pemanfaatan green hydrogen.
PGE juga akan mencari mitra strategis untuk pengembangan bisnis baru ini. Tidak hanya untuk bisnis panas bumi mitra nanti juga diharapkan bisa membawa teknologi serta pendanaan untuk pengembangan green hydrogen. Green hydrogen diyakini bisa dikembangkan berdampingan dengan potensi panas bumi karena cadangannya juga disekitar cadangan panas bumi. Indonesia yang memiliki cadangan panas bumi besar tentu memiliki keuntungan besar.
"Kita bisa jadikan geothermal sebagai green economy yang memberikan efek terhadap Indonesia. Kondisi itu memberikan nilai lebih banyak ke Indonesia hanya saja bisakah kiga memproyeksikan green hydrogen dengan biaya efisien," ujarnya dalam keterangan resminya, Rabu (17/8/2022).
Hingga saat ini, PGE berada di peringkat teratas dalam pengelolaan panas bumi nasional dengan kapasitas terpasang 1.887 megawatt (MW). Sebesar 1.205 MW dikelola bersama mitra dan 672 MW dioperasikan sendiri oleh PGE.
Dalam RUPTL pengembangan panas bumi diharapkan mampu mencapai 5444,5 MW pada tahun 2030 dengan rincian kapasitas terpasang PLN 1.077,5 MW dan IPP sebesar 4.367 MW.
Dalam 10 tahun ke depan, PGE menargetkan dapat meningkatkan kapasitas terpasang energi bersih yang bersumber dari panas bumi hingga dua kali lipat lebih dari yang saat ini dioperasikan sendiri oleh PGE. Pada 2030, PGE menargetkan dapat meningkatkan kapasitas terpasang yang dikelola langsung PGE menjadi 1.540 MW.
“Ini artinya pada 2030 PGE berpotensi untuk bisa memberikan kontribusi potensi pengurangan emisi sebesar 9 juta ton Co2 per tahun, dan menargetkan menjadi tiga besar perusahaan produsen panas bumi di dunia,” kata Yuniarto.
Sementara itu, Hendra Yu Tonsa Tondang, Vice President Geothermal PT PLN (Persero), mengungkapkan masalah krusial dalam pengembangan panas bumi adalah adanya gap tarif listrik dan keeknomian proyek. Hal itu sangat menentukan untuk kelangsungan panas bumi.
Menurut dia, ada beberapa instrumen untuk mengisi atau menutup gap tersebut, antara lain penerapan carbon tax, menurunkan biaya pokok produksi listrik di Indonesia Timur, insentif belanja modal, government drilling, green/clean energy fund dan penerapan teknologi yang tepat sehingga dapat meningkatkan success ratio proyek.
"Kami membutuhkan kebijakan dari pemerintah, khususnya tarif. Ketika tarif lebih tinggi dari BPP akan meningkatkan subsidi juga kan," imbuhnya.