Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Dwi Purwanto

Governance Analyst di Pratama- Kreston Tax Research Institute (TRI)

Lihat artikel saya lainnya

Opini: Jalan Menghindari Pemidanaan BUMN

Selama kader parpol tidak terdaftar dalam struktur pengurus par­tai, mereka masih diperbo­leh­kan menjadi pimpinan BUMN.
Logo baru Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terpasang di Gedung Kementerian BUMN, Jakarta, Kamis (2/7/2020). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
Logo baru Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terpasang di Gedung Kementerian BUMN, Jakarta, Kamis (2/7/2020). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar

Bisnis.com, JAKARTA - Tepat 8 Juni 2022, Presiden Joko Widodo se­­ca­ra resmi me­­ne­­ken Pe­r­atur­­an Pe­me­rin­­tah (PP) No. 23/2022 ten­­tang Perubahan Atas PP No. 45/2005 tentang Pe­n­­­dirian, Pengurusan, Pe­­nga­was­­an, dan Pem­bu­bar­­an Ba­­dan Usaha Milik Ne­ga­ra (BUMN).

Ada sejumlah poin yang mencuri perhatian, antara lain larangan direksi, komisaris dan dewan pengawas BUMN terlibat politik praktis dan pertanggungjawaban direksi, komisaris dan dewan pengawas jika BUMN yang dikelolanya merugi.Pertanyaannya, apakah PP ba­ru ini berimplikasi pada pe­ngelolaan BUMN, terutama memastikan BUMN tidak ter­­­se­ret dalam politik praktis?

Se­­ca­ra politik, sebenarnya bu­kan­­lah hal baru karena baik PP No. 45/2005 maupun PP No. 23/2022 melarang di­rek­­si, komisaris dan dewan pe­­nga­was menjadi pengurus par­tai politik. Namun, yang me­narik dalam beleid ini adalah aturan mengenai Bu­si­ness Jud­gement Rule (BJR).

Justifikasi parameter legal soal BJR dapat dilihat dalam Pasal 27 ayat (2a) dan Pasal 59 ayat (2a) PP No. 23/2022, yang mengatur tentang batas­an-batasan yang tidak dapat dipertanggungjawaban kepada direksi, komisaris dan de­wan pengawas atas risiko ke­pu­tusan atau pengawasan yang telah mereka ambil.

Berdasarkan pasal tersebut, direksi, komisaris, dan dewan pengawas tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas kerugian perusahaan jika da­pat membuktikan empat hal. Pertama, kerugian bukan ka­re­na kelalaiannya. Kedua, telah melakukan pengurusan/pengawasan dengan iktikad baik dan kehati-hatian. Ke­ti­ga, tidak mempunyai benturan kepentingan atas tindakan pe­ngurusan yang mengakibatkan kerugian. Keempat, telah me­ngambil tindakan/memberi­kan nasihat untuk mencegah timbulnya kerugian.

Selain itu, ketentuan me­ngenai BJR juga diatur dalam Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 59 ayat (3) PP No. 23/2022 yang menyatakan bahwa atas na­ma Perum, Menteri dapat me­ngajukan gugatan ke pe­ngadilan terhadap direksi dan dewan pengawas yang ka­re­na kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian ba­gi Perum.

Soal Menteri dapat mengaju­kan gugatan ke pengadilan, ini merupakan bagian dari pem­baruan konsep BJR. Hal ter­se­but dimaksudkan agar ti­dak menimbulkan pendapat sub­jektif mengenai pihak-pi­hak yang dapat mengajukan gu­gat­an kepada direksi dan de­wan pengawas. Jika melihat perubahan aturan yang ada, PP baru ini seharusnya tidak berimplikasi pada pengelolaan BUMN. Hal tersebut justru menjadi penguat bahwa pemerintah sangat concern menjaga kre­di­bi­litas pimpinan BUMN da­lam mengelola perusahaan.

Secara politik, revisi aturan baru tersebut juga membatasi jabatan direksi, komisaris dan dewan pengawas dari pe­ngurus partai, bukan melarang anggota atau kader partai po­li­tik (parpol) menjadi pim­pin­an BUMN. Jadi, selama kader parpol tidak terdaftar dalam struktur pengurus par­tai, mereka masih diperbo­leh­kan menjadi pimpinan BUMN.

REFORMULASI BJR

Menurut Black’s Law Dic­tio­nary, BJR adalah peraturan yang melindungi direksi dan pengurus perusahaan da­ri tang­gung jawab atas ke­ru­gian perusahaan akibat tran­sak­si yang dilakukan oleh di­rek­si dan pengurus perusahaan.

Di Indonesia, BJR sebenarnya telah tersirat dalam Pasal 97 ayat 2 UU No. 40/2007 tentang Per­se­roan Terbatas, yaitu prin­sip kehati-hatian dan iktikad baik. BJR juga diadopsi da­lam Pasal 5 ayat 3 UU No. 19/2003 tentang Badan Usaha Mi­lik Negara, yang menekankan BJR dalam prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG).

Meskipun Indonesia telah mengadopsi BJR dalam bentuk UU, tetapi pengujian terhadap keputus­an bisnis direksi belum men­dapat perhatian serius da­ri pengadilan. Sebaliknya, pe­ngujian keputusan bisnis di­rek­si justru dilakukan me­lal­ui perkara tindak pidana korupsi.

Hal tersebut terlihat da­lam perkara yang melibat­kan Man­tan Direktur Uta­ma Per­ta­mi­na, Karen Agus­tia­wan, ter­kait akuisisi blok mi­­nyak Bas­ker, Manta, dan Gum­my di Australia, di mana da­lam pu­­tus­an Pengadilan Tin­­dak Pida­na Korupsi, pengadilan mengadi­li tin­dakan Karen Agustiawan se­­ba­gai tindak pidana korupsi. Na­mun, di tingkat kasasi, dia di­nyatakan lepas dari segala tun­tutan hukum karena keputus­an bisnisnya berdasarkan prin­sip-prinsip BJR.

Berbeda dengan kasus Man­­tan Di­rut Merpati Nu­san­tara Airlines, Hotasi Nababan ter­­kait dengan penyewaan pe­­sa­wat Boeing 737-500 dan Boeing 737-400. Meskipun pen­­da­pat ahli dalam persidang­­an menyatakan keputus­­an bisnisnya telah sesuai de­­ngan prinsip-prinsip GCG, tetapi dalam putusan MA di­nya­ta­kan bahwa terdakwa Ho­ta­si terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah me­la­ku­kan tindak pidana korup­si secara bersama.

Apabila dilihat dari permasa­lah­an hukum yang terjadi, pe­ne­rapan BJR di Indonesia ma­sih perlu ditata ulang secara sis­tematis. Pasalnya, penguji­an BJR yang diamanatkan da­lam UU tidak ber­ja­lan sebagaimana mestinya.

Terdapat tiga cara untuk merumuskan kembali BJR. Pertama, perlu dibuat pasal-pasal tertentu yang berkaitan dengan BJR dan menggunakan istilah BJR secara eksplisit. Hal ini untuk menghindari inkonsistensi penafsiran di antara para penegak hukum.

Kedua, memasukkan unsur BJR, yang menyatakan bahwa direksi dan komisaris tidak dapat dituntut jika keputusan bisnisnya didasarkan pada informasi dan data yang cukup, andal, dan rasional. Selain itu, keputusan yang diambil tidak mengandung unsur kecurangan dan penyalahgunaan jabatan serta tidak memperoleh keuntungan pribadi dari keputusan tersebut.

Ketiga, pemerintah perlu mempertimbangkan perumusan ulang konsep BJR secara lebih tegas dan rinci. Hal ini dimaksudkan agar tidak menimbulkan penafsiran yang menyesatkan di kalangan penegak hukum dan menghindari potensi kriminalisasi terhadap keputusan bisnis direksi dan komisaris.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Dwi Purwanto
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper