Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah dinilai harus memberi kompensasi kepada pelaku industri manufaktur guna mengakselerasi peralihan penggunaan bahan baku dan energi hijau secara masif.
Menurut Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, insentif bisa diberikan dalam hal penyediaan energi dan proses produksi, serta pemberlakuan pajak karbon.
"Sehingga, bisa mendorong sektor manufaktur untuk menggunakan energi terbarukan sejak di hulu proses produksinya," kata Bhima kepada Bisnis, Senin (8/8/2022).
Pada aturan terbaru, pemerintah tidak menyantumkan industri manufaktur sebagai penerima insentif PPh 22 impor di PMK No. 114/2022 tentang Insentif Pajak Untuk Wajib Pajak.
Hal itu pun memaksa pelaku industri manufaktur untuk memutar otak. Misalnya, pebisnis makanan dan minuman (mamin) untuk memutar otak.
Salahnya penyebabnya, dampak inflasi dunia serta fluktuasi harga bahan baku yang sudah tercermin dari indeks harga produsen (IHP) yang memiliki gap sangat tinggi dibandingkan dengan indeks harga konsumen (IHK).
Baca Juga
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), IHP industri manufaktur RI pada kuartal I/2022 sebesar 158,64, sedangkan IHK untuk periode yang sama sebesar 108,95.
Bhima mengatakan masih banyak pelaku industri yang bergantung kepada penggunaan batu bara, baik untuk pembangkit listrik maupun untuk proses pembakaran. Khususnya, pelaku industri manufaktur skala menengah.
"Terutama, industri besi baja, keramik, serta kaca yang memerlukan banyak batu bara," lanjutnya.
Sejauh ini, jelasnya, baru terdapat sebanyak 144 emiten yang sudah menyerahkan laporan komitmen penerapan prinsip keberlanjutan. Termasuk, perusahaan-perusahaan di sektor industri manufaktur.