Bisnis.com, JAKARTA - Pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal III dan Kuartal IV tahun ini diprediksi akan menghadapi dua tekanan. Pertama, efek kenaikan bahan bakar minyak dan tekanan resesi yang terjadi di Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa.
Ketua Bidang Manufaktur Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ade Sudrajat mengatakan bahwa kedua tekanan tersebut bakal membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia menyusut dibandingkan kuartal II.
Adapun, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 5,43 persen atau lebih baik ketimbang pencapaian kuartal I/2022 yang tumbuh 5,01 persen.
“Kemungkinan menurun [pertumbuhan ekonomi dibanding kuartal II],” kata Ade saat dihubungi, Jumat (5/8/2022).
Ade yang juga merupakan mantan Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia itu mengatakan Indonesia juga harus mewaspadai dampak dari kondisi geopolitik yang semakin memanas, salah satunya konflik Rusia-Ukraina yang belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir.
“Di sisi lain hubungan China dan Taiwan yang memanas," ujarnya.
Sebelumnya, Kepala BPS Margo Yuwono menuturkan bahwa kondisi ekonomi global dihadapkan kepada sejumlah tantangan. Tekanan inflasi di beberapa negara sudah cukup tinggi. Uni Eropa 9,6 persen, Amerika 9,1 persen, Inggris 8,2 persen, Korea 6,1 persen. IMF juga melakukan revisi pertumbuhan ekonomi, turun ke bawah. Untuk 2022, semula adalah 3,6 persen menjadi 3,2 persen,
“Dengan kenaikan harga komoditas, Indonesia mendapatkan keuntungan dan neraca perdagangan membukukan surplus US$ 15,55 miliar. Naik 148,01 persenyoy,” papar Margo Yuwono, Kepala BPS, dalam jumpa pers di kantor pusat BPS, Jakarta, Jumat (5/8/2022).
Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) juga terus meredam tekanan global. Margo menyebut subsidi energi dan bantuan sosial meningkat masing-masing 11,34 persen yoy dan 56,17 persen yoy. Sementara itu, BI memilih tidak menaikkan suku bunga acuan.