Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasfrif tiba-tiba mengancam akan menutup kembali keran ekspor batu bara. Hal itu disampaikan Menteri Arifin untuk menanggapi laporan tersendatnya pasokan batu bara untuk industri di dalam negeri.
Arifin mengaku belum menerima laporan rinci terkait persoalan tersebut. Namun, dia khawatir jika kejadian awal tahun saat pasokan batu bara untuk industri dalam negeri terhenti kembali terulang, menyusul penguatan harga komoditas emas hitam di pasar internasional belakangan ini.
“[Kalau terulang lagi] ya kita setop lagi ekspornya,” kata Arifin saat ditemui di Gedung Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kamis (4/8/2022).
Laporan tersebut terungkap setelah sejumlah pemangku kepentingan batu bara berkumpul dalam diskusi publik berkaitan dengan penerapan badan layanan umum (BLU) batu bara pada pekan ini. Pertemuan tersebut diinisiasi Asosiasi Pemasok Energi dan Batubara (Aspebindo), diskusi publik itu berjalan cukup alot dengan kesimpulan untuk mendorong segera penerapan segera BLU Batu Bara.
Pasokan Batu Bara
Alasannya, sebagian besar pemasok yang sudah berkontrak dengan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN dan industri hilir lainnya memilih menahan pasokan domestik mereka untuk menunggu implementasi BLU Batu Bara tersebut. Harapannya mereka mendapat kompensasi dari pengiriman batu bara untuk setiap harga domestik yang dipatok US$70 per ton pada PLN dan US$90 per ton pada industri semen dan pupuk setelah badan layanan itu diterapkan.
Hanya saja sejak ide badan layanan itu digulirkan sejak triwulan pertama tahun ini, realisasinya cenderung molor dari target. Hal itu mendorong pemasok batu bara domestik berspekulasi menahan pengiriman di tengah disparitas harga yang makin lebar belakangan ini. Konsekuensinya, PLN bersama dengan industri hilir lainnya seperti semen hingga pupuk mengaku mulai mengalami kekurangan pasokan.
Baca Juga
Kendati demikian, Arifin mengatakan, tertundanya penerapan BLU Batu Bara tidak berkaitan langsung dengan isu pasokan komoditas emas hitam itu yang makin menyusut pada pertengahan tahun ini. Dia beralasan pemasok berkontrak sudah terikat dengan kebijakan domestic market obligation (DMO) untuk dapat melakukan kegiatan ekspor.
“Nggak ada itu nunggu-nunggu BLU, kewajiban [untuk domestik] ya kewajiban dulu,” tegas Arifin.
Seperti diketahui, Harga Batubara Acuan (HBA) Agustus 2022 kembali mengalami penguatan sebesar US$2,59 per ton dari bulan sebelumnya ke posisi US$321,59 per ton. Sentimen penguatan itu dipengaruhi reli kenaikan harga gas alam cair di Eropa menyusul ketidakpastian pasokan gas di kawasan tersebut.
Kenaikan ini mencatatkan tren positif harga batu bara sepanjang 2022. Pada Januari 2022, HBA ditetapkan sebesar US$158,50 per ton, naik ke US$188,38 per ton di Februari. Selanjutnya Maret menyentuh angka US$203,69 per ton, April sebesar US$288,40 per ton, Mei berada di level US$275,64 per ton, dan Juni US$323,91 per ton.
Peran BLU
Adapun, BLU rencananya bakal menarik iuran batu bara dari setiap penjualan bahan baku energi itu setelah harga dilepas pada mekanisme pasar. Iuran itu dialihkan untuk menambal harga yang dibayarkan PLN menggunakan patokan terkini US$70 per ton.
Malahan, Kementerian ESDM, mengibaratkan entitas khusus anyar ini mengambil tugas dan fungsi mirip dengan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) yang mendukung program mandatori B30. Artinya selain menjamin pasokan domestik, penjual batu bara juga nanti tetap menikmati harga pasar dari komoditas batu bara tersebut lewat skema iuran tadi.
Lewat diskusi publik penerapan BLU Batu Bara pekan ini, PLN berharap pemerintah segera mengimplementasikan BLU di tengah pasokan batu bara yang belakangan tertahan di sejumlah pemasok domestik.
Menurut EVP Batubara PT PLN (Persero) Sapto Aji Nugroho sebagian besar pemasok batu bara yang sudah berkontrak dengan PLN belakangan memilih untuk menunda pengiriman menyusul spekulasi BLU yang bakal segera diimplementasikan pemerintah pada tahun ini.
“Sejak bulan April, Mei orang sudah menunggu BLU akan keluar sehingga beberapa pemasok menunda pengiriman, ini yang makin mempersulit kondisi saat ini ketika BLU itu tidak segera keluar,” kata Sapto.
Menurut Sapto, disparitas harga yang terlanjur lebar sejak awal tahun itu mendorong pemasok batu bara untuk melakukan ekspor ketimbang memenuhi kewajiban pasokan untuk industri dalam negeri termasuk PLN. Apalagi, kata dia, rencana implementasi BLU Batu Bara yang nantinya bertugas menarik iuran dari perdagangan komoditas itu ikut mendorong spekulasi untuk menahan pasokan mereka.
Realisasi Ekspor Batu Bara
Berdasarkan data Minerba One Data Indonesia per Juli 2022, realisasi ekspor batu bara Indonesia sudah mencapai 135,17 juta ton dari keseluruhan produksi hingga paruh pertama tahun ini di angka 371,79 juta ton. Capaian ekspor itu masih terpaut jauh dari pemenuhan pasokan domestik atau DMO yang hanya di angka 54,03 juta ton. Sementara itu, realisasi pada pos domestik lainnya mencapai 101,92 juta ton.
Seiring dengan peningkatan konsumsi listrik nasional, PLN meminta tambahan 15,5 juta ton batu bara pada 25 Februari 2022 lantaran kebutuhan yang ditetapkan dalam RKAP awal hanya berkisar 66,4 juta ton. Saat itu, permintaan PLN disetujui Kementerian ESDM dengan alokasi batu bara mencapai 17,2 juta ton untuk Maret hingga Mei 2022 dengan volume terkontrak 11,4 juta ton atau selisih 5,8 juta ton.
PLN kembali mengajukan permohonan penugasan batu bara sebesar 6 juta ton menyusul permintaan kelistrikan yang naik tajam pada paruh kedua. Permintaan itu disampaikan pada 8 Juli 2022 yang belakangan disanggupi sebesar 5,4 juta ton pada 10 Juni 2022.
“Menindaklanjuti penugasan, pada tanggal 15 Juli telah dilakukan pembahasan dengan penambang dengan hasil komitmen pasokan 1,6 juta ton dengan pasokan di Agustus hanya 100.000 ton,” kata Sapto.
Di sisi lain, Kementerian ESDM mengaku sudah menerima laporan ihwal harga batu bara dari kebijakan DMO untuk industri dalam negeri yang tidak sesuai dengan Keputusan Menteri ESDM No.139.K/ HK.02/ MEM.B/ 2021 tentang Pemenuhan Kebutuhan Batu Bara Dalam Negeri.
Pelaksana Harian Direktur Jenderal Mineral dan Batu bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Muhammad Idris Froyoto Sihite mengatakan sejumlah industri dalam negeri tidak mendapatkan harga sesuai jaminan harga patokan tertinggi yang telah ditetapkan pemerintah untuk pasokan batu bara domestik.
“Saya menangkap beberapa isu ya, terutama masalah harga, bagaimana mereka itu tidak dapat jaminan harga di Kepmen,” kata Idris.
Ihwal polemik yang kembali berulang itu, Asosiasi Pemasok Energi dan Batubara (Aspebindo) meminta pemerintah untuk segera mengaktifkan penerapan badan layanan usaha atau BLU Batu Bara seiring dengan disparitas harga yang makin lebar dari pasar internasional.
Wakil Ketua Umum Aspebindo Fathul Nugroho mengatakan disparitas harga yang tinggi itu belakangan membuat pasokan batu bara untuk keperluan domestik cenderung terhambat. Alasannya, sebagian besar penambang dan trader batu bara memilih untuk melakukan pengiriman komoditas energi primer itu ke pasar luar negeri ketimbang memenuhi kewajiban pasokan domestik.
“Kenaikan harga komoditas batu bara mengakibatkan persaingan dalam pemenuhan suplai antara domestik dan ekspor karena pemilik tambang dan trader batu bara lebih tertarik dengan ekspor,” kata Fathul.
Di sisi lain, Fathul menuturkan, penjualan batu bara pada pasar domestik cenderung tidak memiliki margin yang lebar lantaran harga patokan dalam negeri yang rendah dibandingkan dengan pasar ekspor.
“Kami menyambut baik kebijakan yang dirilis Kementerian ESDM terkait BLU bisa jadi solusi disparitas harga,” kata dia.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan meminta pemerintah untuk memastikan penerapan BLU Batu Bara tidak akan memberatkan arus kas PLN ke depan. Mamit berharap pemerintah dapat menyiapkan skema pembelian batu bara dengan mengakomodasi kelancaran arus kas perusahaan listrik pelat merah tersebut.
Saran itu disampaikan Mamit menyusul belum jelasnya tata niaga pembelian dari batu bara domestik itu lewat skema badan pungutan tersebut. Dia mengatakan arus kas PLN akan tertekan jika mesti membayar lebih dahulu harga keekonomian batu bara sebelum belakangan dikompensasi BLU.
“Kalau PLN sampai harus bayar US$300-an per ton di awal lalu diganti di akhir tahun, ini akan menambah beban keuangan PLN yang signifikan karena mereka harus bayar bunga, beban subsidi dan kompensasi juga,” kata Mamit.