Bisnis.com, JAKARTA – Inflasi Turki kembali melesat pada bulan Juli 2022 karena bank sentral mempertahankan kebijakan yang longgar. Analis bahkan memperkirakan ini belum mencapai puncaknya.
Dilansir Bloomberg pada Rabu (3/8/2022), inflasi Turki melesat menjadi 79,6 persen pada Juni 2022 dibandingkan tahun sebelumnya (year-on-year/yoy), level tertinggi sejak tahun 1998 setelah keluar dari krisis ekonomi Asia.
Angka ini meningkat dari level 78,6 persen pada Juni namun masih lebih rendah dari perkiraan oleh para ekonom dalam survei Bloomberg. Istanbul, kota terpadat di Turki, bahkan mencatat inflasi melebihi 99 persen (yoy) pada Juli.
Lonjakan inflasi telah memaksa para pejabat dan ekonom untuk merombak perkiraan beberapa kali tahun ini, karena upaya untuk menstabilkan lira goyah pada saat invasi Rusia ke Ukraina meningkatkan harga-harga mulai dari makanan hingga energi.
Bahkan di dunia yang dilanda inflasi tercepat dalam beberapa dekade, Turki berada di belakang segelintir negara seperti Zimbabwe, Venezuela dan Lebanon, yang mencatat laju inflasi mencapai tiga digit.
Meredakan cengkeraman inflasi menjadi lebih sulit untuk dicapai karena bank Sentral Turki menahan diri untuk tidak menaikkan suku bunga utamanya dari 14 persen di bawah tekanan dari Presiden Recep Tayyip Erdogan.
Baca Juga
Erdogan percaya bahwa tingkat yang lebih tinggi justru menyebabkan inflasi lebih cepat melonjak.
Analis ekuitas Bank Julius Baer Nenad Dinic mengatakan dia tidak melihat tanda-tanda stabilisasi di kondisi makroekonomi Turki yang muncul dari pengaturan kebijakan makroekonomi yang tidak lazim saat ini.
“Kami merekomendasikan untuk menahan diri dari berinvestasi dalam aset Turki,” kata Dinic speerti dikutip Bloomberg, Rabu (3/8/2022).
Pendekatan tersebut telah membuat para pembuat kebijakan Turki tidak sinkron dengan pengetatan moneter sejumlah bank sentral global dan mendorong suku bunga riil Turki itu jauh di bawah nol ketika disesuaikan dengan kenaikan harga.
Erdogan berniat menjaga ekonomi tetap maju dengan cepat menjelang pemilihan yang dijadwalkan Juni tahun depan, bahkan ketika lonjakan mengikis pendapatan dan mengancam popularitasnya.
Berbicara pekan lalu, Gubernur bank sentral Turki Sahap Kavcioglu terdengar yakin bahwa apa yang disebut model ekonomi baru yang memprioritaskan produksi, ekspor, dan lapangan kerja akan membantu menstabilkan harga dan mata uang lira.
Otoritas Turki malah mengandalkan langkah-langkah makroprudensial seperti membatasi pertumbuhan pinjaman komersial serta kebijakan yang bertujuan untuk memperluas penggunaan mata uang lokal dan menyalurkan modal ke arah investasi jangka panjang.