Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Cetak Biru Logistik Nasional Belum Optimal, Ini Alasannya

Ekonom menilai realisasi cetak biru sistem logistik nasional hingga saat ini belum optimal.
Aktivitas bongkar muat peti kemas di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Rabu (22/6/2022). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
Aktivitas bongkar muat peti kemas di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Rabu (22/6/2022). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Bisnis.com, JAKARTA - Realisasi rencana dan target yang telah ditetapkan pada cetak biru sistem logistik dinilai belum optimal yang disebabkan oleh sejumlah persoalan.

Ekonom Samudera Indonesia Research Initiatives As’ad Mahdi menjelaskan pengembangan cetak sistem logistik tersebut tidaklah optimal karena payung hukum yang digunakan yakni Peraturan Presiden atau Perpres berada di hierarki peraturan yang relatif lemah atau rendah.

Selain itu, rencana aksi yang dirumuskan tidak memiliki indikator pendukung seperti kajian mengenai analisa biaya dan manfaat. Dengan hasil evaluasi tersebut, As'ad meminta agar implementasi cetak biru pengembangan sistem logistik nasional perlu mendapatkan perhatian khusus.

Pemerintah, sebutnya, perlu mendorong sinergi antara rencana aksi yang dilakukan pada tahap I agar selaras dengan program dan kegiatan yang tercantum pada Instruksi Presiden (Inpres) No.5/2020 tentang Penataan Ekosistem Logistik Nasional.

"Inpres yang menjadi bentuk implementasi lebih lanjut dari Sislognas ini belum dapat mengakomodir keseluruhan aspek yang tercantum pada Perpres No.26/2012," ujarnya, Kamis (28/7/2022).

Pada konteks cetak biru pengembangan sistem logistik nasional, bentuk peraturan yang digunakan adalah Peraturan Presiden dan implementasinya membutuhkan waktu sekitar 15 tahun (2011-2025).

Sementara itu, Indonesia menganut rezim penggantian kepemimpinan setiap 5 tahun sekali. Penggunaan Perpres sebagai landasan peraturan pengembangan sistem logistik nasional pun menjadi kurang tepat.

Pengaturan terkait dengan pengembangan logistik nasional memerlukan tingkatan hukum yang lebih tinggi sehingga dapat menjamin keberlangsungan implementasinya dalam jangka panjang.

Selain soal jenis aturan yang kurang tepat, As'ad juga menyebut bahwa rencana aksi dalam aspek kepelabuhanan menjadi salah satu kelemahan yang ada pada cetak biru pengembangan sistem logistik nasional.Misalnya saja rencana aksi untuk pengembangan pelabuhan hub internasional di Kawasan Timur (Bitung, Sulawesi Utara) dan Barat (Kuala Tanjung, Sumatera Utara).

Pembangunan pelabuhan hub internasional di kedua wilayah ini belum didukung dengan kondisi perdagangan internasional dan domestik yang optimal.

Pada 2021, nilai ekspor di provinsi Sulawesi Utara hanya mencapai US$1,08 miliar (0,47 persen dari total ekspor nasional) dan nilai impornya hanya mencapai US$96,87 juta (0,05 persen dari total impor nasional).

Selain itu, perdagangan domestik provinsi ini pada 2020 juga menunjukkan kontribusi yang rendah secara nasional, yakni dengan nilai pembelian sebesar Rp12,49 triliun (1,04 persen dari total pembelian nasional) dan nilai penjualan sebesar Rp l7,19 triliun (0,60 persen dari total penjualan nasional).

Hal serupa juga terlihat di provinsi Sumatera Utara dengan nilai ekspor pada 2021 hanya mencapai US$11,86 miliar (5,12 persen dari total ekspor nasional) dan nilai impornya hanya mencapai US$ 5,09 miliar (2,60 persen dari total impor nasional).

Selain itu, perdagangan domestik provinsi pada 2020 juga menunjukkan kontribusi yang rendah dengan nilai pembeliannya hanya mencapai Rp48,28 triliun (4,03 persen dari total pembelian nasional) dan nilai penjualannya sebesar Rp23,31 triliun (1,95 persen dari total penjualan nasional).

Idealnya, setiap rencana aksi yang tercantum di dokumen cetak biru juga mencantumkan hasil kajian kesiapan faktor pendukungnya sehingga dapat menjamin bahwa rencana aksi yang dilakukan dapat
mencapai target pengembangan Sislognas. Target tersebut adalah penurunan biaya logistik nasional dan peningkatan skor LPI Indonesia.

Oleh karena itu, apabila pemerintah Indonesia ingin mewujudkan penurunan biaya logistik nasional sampai dengan level optimal, idealnya perencanaan yang dilakukan memiliki payung hukum yang kuat dan kajian yang mendalam.

Perencanaan tersebut sebaiknya dilakukan berdasarkan kajian-kajian mengenai manfaat biaya dari setiap alternatif pembangunan yang ada untuk sistem logistik nasional. Khususnya pada aspek kepelabuhanan.

Adapun, Pada 2012, Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No.26/2012 tentang Cetak Biru Pengembangan Sistem Logistik Nasional (Sislognas). Penyusunan cetak biru ini dilandaskan oleh kinerja sistem logistik nasional yang masih belum optimal.

Salah satunya tercermin dari masih tingginya biaya logistik nasional yang mencapai 27 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Pengembangan sistem logistik nasional akan dibagi menjadi tiga tahapan implementasi. Tahap I (2011 – 2015), Tahap II (2016 –2020), dan Tahap III (2021 – 2025) dengan masing-masing target tahapan adalah untuk menurunkan biaya logistik nasional dan meningkatkan skor LPI Indonesia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Halaman
  1. 1
  2. 2
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper