Bisnis.com, JAKARTA – Goldman Sachs Group Inc memperkirakan krisis yang melanda sektor properti China akan menyebabkan pasar bijih besi mengalami surplus pasokan pada paruh kedua tahun, sehingga harga berpotensi jatuh.
Dilansir Bloomberg pada Selasa (26/7/2022), Goldman memproyeksikan adanya kelebihna pasokan bijih besi hingga 67 juta ton untuk sisa tahun 2022, setelah defisit 56 juta ton pada semester pertama.
Proyeksi ini menyusul pelemahan proyek real estate di China dan anjloknya permintaan baja di luar China. Goldman juga memangkas target harga tiga dan enam bulannya masing-masing menjadi US$70 dan US$85 per ton, dari US$90 dan US$110 per ton.
Goldman mengatakan pihaknya memperkirakan kesulitan pasar bijih besi saat ini akan bertahan lebih lama dari aksi jual yang terlihat pada 2021, meskipun kondisinya tidak mungkin seburuk pasar bearish pada 2014-2015, saat harga mencapai level terendah US$38 per ton.
Masalah yang dihadapi adalah bahwa bijih besi terkait erat dengan siklus awal aktivitas properti di China. Tindakan keras pemerintah Beijing terhadap utang yang berlebihan di sektor ini, yang dimulai sekitar tahun lalu, telah berubah menjadi krisis besar-besaran. Krisis ini juga memicu aksi boikot pembayaran KPR oleh nasabah karena proyek perumahan tak kunjung selesai.
“Segmen sektor ini menghasilkan hampir sepertiga dari permintaan baja dan bijih besi China, yang pada gilirannya mewakili hampir seperempat dari permintaan global,” kata Goldman, seperti dikutip Bloomberg, Selasa (26/7/2022).
Baca Juga
Harga bijih besi di bursa Singapura naik hampir 4 persen pada hari Selasa, sebelum memangkas kenaikan dan diperdagangkan pada US$109,05 per ton, menyusul langkah pemerintah China untuk membentuk lembaga dana real estat untuk mendukung pengembang.
Analis China Industrial Futures Wei Ying mengatakan pelaku pasar juga menanggapi peningkatan margin pabrik baja setelah penurunan biaya input.
Bloomberg Intelligence memiliki pandangan serupa tentang dampak krisis properti di pasar komoditas. Di antara logam lainnya, baja mungkin paling dirugikan pada kuartal ketiga oleh boikot KPR, karena konstruksi secara luas menyumbang 49 persen dari permintaan China. Sementara itu, aluminium memiliki proporsi 32 persen sedangkan tembaga 9 persen.