Bisnis.com, JAKARTA - Pelaku usaha makanan dan minuman (mamin) mau tidak mau harus putar otak usai sektor industrinya tidak masuk sebagai penerima insentif PPh 22 impor di PMK No. 114/2022 tentang Insentif Pajak Untuk Wajib Pajak.
Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal mengatakan strategi putar otak tersebut mesti diambil sebagai antisipasi terus berlangsungnya inflasi ekonomi akibat perang Rusia-Ukraina serta fluktuasi harga bahan baku yang menyusul.
Sebab, ujarnya, industriawan tidak boleh lengah meskipun daya tahan industri manufaktur sepanjang semester I/2022 mengacu kepada purchasing indeks manager (PMI) masih berada di level ekspansif.
"Perkembangan terakhir ekonomi global tidak terprediksi. Inflasi, dampaknya sudah sampai ke industri manufaktur. Bahkan, ke yang paling resilience sekalipun, yakni mamin," kata Faisal, Senin (25/7/2022).
Dia menjelaskan, dampak inflasi dunia serta fluktuasi harga bahan baku tersebut tercermin dari indeks harga produsen (IHP) yang memiliki gap sangat tinggi dibandingkan dengan indeks harga konsumen (IHK).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), IHP industri manufaktur RI pada kuartal I/2022 sebesar 158,64, sedangkan IHK untuk periode yang sama sebesar 108,95.
Baca Juga
Pelaku industri manufaktur terutama mamin, lanjut Faisal, bakal mentransmisikan gap yang besar antara IHP dan IHK dalam bentuk kenaikan harga barang di tingkat konsumen dalam waktu dekat sebagai respons.
Setidaknya, kata Faisal, terdapat 2 langkah yang bisa diambil oleh pelaku industri mamin Tanah Air untuk mengantisipasi dampak ketidakpastian ekonomi dunia terhadap kinerja usaha.
"Antara lain, menaikkan harga barang di tingkat konsumen dan memangkas ongkos produksi melalui efisiensi," ujarnya.
Perlu diketahui, perubahan kondisi ekonomi global yang ditandai dengan inflasi dan kenaikan harga bahan baku, menjadi ancaman bagi industri manufaktur. Terutama, sektor mamin yang bergantung kepada impor bahan baku.
Data terbaru BPS yang menunjukkan penurunan impor sejumlah bahan baku industri mamin seperti gandum dan gula mengindikasikan geliat di sektor itu sedang terdistraksi.
Komoditas gula dan kembang gula tercatat golongan barang yang mengalami penurunan
terbesar pada Juni 2022, yakni 39,57 persen secara bulanan (month-to-month/m-t-m-m) dengan nilai US$152,8 juta.
Pada periode yang sama tahun lalu, nilai impor gula dan kembang gula mencapai sekitar US$165,7 juta. Dengan kata lain, secara tahunan atau year-on-year (yoy) komoditas tersebut mengalami penurunan sebesar 8,47 persen.
Sementara untuk bahan baku serealia seperti gandum, persentase penurunan nilai impor tahunan untuk periode yang sama dialami jauh lebih besar dibandingkan gula, akibat terdampak perang Rusia dan Ukraina.
BPS mencatat, nilai impor komoditas serealia pada Juni US$53,9 juta atau turun sebesar 32,73 persen dibandingkan dengan periode yang sama pada 2021.
Secara bulanan (m-t-m), komoditas andalan industri mamin tersebut juga mengalami penurunan sebesar 15,77 persen.