Bisnis.com, JAKARTA - Jepang mengalami defisit neraca perdagangan untuk 11 bulan berturut-turut pada Juni karena harga komoditas yang lebih tinggi dan yen yang melemah terus menggelembungkan nilai impor negara.
Melansir dari Bloomberg pada Kamis (21/7/2022), Kementerian Keuangan Jepang mencatat defisit neraca perdagangan menyempit menjadi 1,38 triliun yen atau Rp149,9 triliun (dengan Kurs Rp108) dari 2,39 triliun yen atau Rp259,6 triliun, yang merupakan level terbesar sejak Januari 2014.
Impor melonjak 46,1 persen di tahun ini dengan minyak mentah, batu bara, dan gas alam cair memimpin kenaikan. Harga minyak dan gas terus melonjak dari level tahun lalu. Kenaikan ini sedikit lebih rendah dari proyeksi ekonom yang memperkirakan kenaikan 46,3 persen.
Sementara itu, ekspor meningkat 19,4 persen dibandingkan dengan proyeksi analis sebesar 17 persen karena pengiriman bahan bakar mineral, baja, dan suku cadang semikonduktor melonjak dari tahun sebelumnya. Ekspor naik 4 persen dari bulan Mei.
Meskipun defisit menyempit dari bulan sebelumnya, level ini berbanding terbalik dari Juni tahun lalu yang masih mencatat surplus. Defisit bulan Juni juga merupakan defisit terburuk ketiga tahun ini dan berdasarkan penyesuaian musiman, level ini adalah yang terbesar sejak 2014. Defisit yang berkelanjutan kemungkinan akan terus menekan yen.
Ekonom Norinchukin Research Institute Takeshi Minami mengatakan lonjakan impor tidak didorong oleh permintaan yang kuat di dalam negeri, tetapi oleh faktor pendorong biaya.
Baca Juga
“Ekspor turun secara volume dan dapat melambat lebih lanjut, terutama ke Amerika Serikat (AS) dan Eropa karena ekonomi global melambat,” ungkap Minami seperti dikutip Bloomberg, Kamis (21/7/2022).
Jepang yang bergantung pada energi dan makanan impor mencatat biaya impornya melonjak karena perang di Ukraina dan gangguan pasokan, termasuk yang terkait dengan lockdown akibat pandemi Covid-19.
Karena harga komoditas tetap tinggi dan yen tetap lemah, defisit neraca perdagangan kemungkinan akan tetap berlanjut. Data perdagangan Juni menunjukkan bahwa impor minyak mentah dari Rusia juga turun menjadi nol untuk pertama kalinya sejak perang dimulai.
Ekspor juga dapat mengalami perlambatan ekonomi global karena ekonomi utama mencoba untuk mendinginkan inflasi dan permintaan yang merajalela dengan menaikkan suku bunga. Bank-bank sentral di seluruh dunia telah mempercepat jalur kenaikan suku bunganya dengan kenaikan yang fantastis.
“Ke depan, kami memperkirakan defisit perdagangan akan sedikit menyempit di bulan Juli. Nilai impor kemungkinan akan meningkat pada kecepatan yang lebih lambat karena penurunan harga komoditas,” kata ekonom Yuki Masujima
Menurutnya, pembukaan kembali Shanghai dari lockdown diperkirakan bakal mendorong kinerja ekspor Jepang.