Bisnis.com, JAKARTA - Serikat Nelayan Nahdlatul Ulama (SNNU) berharap Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Sakti Wahyu Trenggono meninjau ulang atau menunda implementasi PP No. 85/2021 tentang jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Ketua UMUM SNNU Witjaksono menuturkan dikhawatirkan dengan implementasi beleid tersebut dan kenaikan bahan bakar minyak (BBM) akan membuat nelayan tidak melaut.
“Lebih baik di tinjau ulang atau implementasinya di tunda mengingat masa pandemi dan harga BBM sedang tinggi sekali,” ujar Witjaksono, Rabu (20/7/2022).
Dikatakannya, Serikat Nelayan NU, yang mayoritas warga pesisir adalah warga Nahdlyin meminta pemerintah melalui Kementrian KKP, lebih memperhatikan dengan seksama, lebih teliti dan mengedepankan mendengarkan masyarakat bawah dengan lebih banyak turun ke lapangan sehingga mendengarkan aspirasi langsung.
Jika KKP tetap berkukuh menerapkan kebijakan tersebut, menurutnya cenderung menambah beban nelayan, karena berimplikasi terhadap pendapatan nelayan turun.
“Komplain nelayan melaut bisa rugi tatkala tangkapan susah karena faktor cuaca ektreem, harga ikan naik, konsumsi ikan dan hasil laut masyarakat turun, Export hasil laut turun, dan memberikan efek sosial lainnya yang banyak runtutannya,” ujarnya,
Baca Juga
Dia menjelaskan bahwa PP No. 85/2021 dan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI No. 86 dan 87/2021 telah memberi ruang untuk pungutan PNBP bagi kapal penangkap atau pengangkut ikan berukuran 5-30 gross tonnage (GT), yang biasa digunakan oleh jutaan nelayan kecil.
Padahal pungutan PNBP sebelumnya hanya diberlakukan untuk kapal dengan ukuran di atas 30 GT. Dari suara yang didengar dan fakta yang dilihatnya, tokoh UMKM nasional ini menduga ada tekanan yang dirasakan para nelayan saat hendak melaut, mencari nafkah bagi keluarganya di rumah.
Menurutnya, kenaikan pungutan dalam bentuk penentuan skala persentase kapal ukuran 5-60 GT sebesar 5 persen, 61-1.000 GT sebesar 10 persen dan 1.000 GT ke atas, tidak sesuai dengan kemampuan SDM lokal dan justru cenderung menguntungkan pengusaha besar serta membuka potensi masuknya kapal asing untuk merampok kekayaan laut di perairan NKRI.
“Pungutan pra dan pasca produksi dapat berpotensi menimbulkan praktik manipulasi dan monopoli yang berpotensi menimbulkan kerugian pendapatan negara,” ujar Witjaksono.