Bisnis.com, JAKARTA - Usulan simplifikasi tarif cukai rokok masih menjadi kekhawatiran bagi pelaku usaha hasil tembakau (IHT) karena dinilai dapat memengaruhi kinerja industri yang masih berada pada fase pemulihan.
Kendati demikian, pemerintah masih berpegang teguh untuk merealisasikan usulan yang tercantum dalam rencana jangka menengah yang mencakup kurun waktu 2019 hingga 2024.
"Usulan penyederhanaan layer itu sudah ada di Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2019 - 2024," Kata Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Dirjen Bea dan Cukai Kemenkeu, Nirwala Dwi Heryanto, kepada Bisnis, Selasa (19/7/2022).
Mengutip RPJMN 2019 - 2022, pemerintah melakukan optimalisasi perpajakan yang mencakup sejumlah hal, di antaranya penyederhanaan struktur tarif cukai hasil tembakau (HT) dan peningkatan tarif cukai HT.
Rencana pemerintah menaikan cukai rokok dinilai menjadi beban tambahan bagi industri tersebut. Terutama, karena industri masih terhambat dari segi produksi akibat kondisi cuaca yang tidak kondusif.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPN) Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), Suseno, mengatakan cuaca yang kurang mendukung membuat kapasitas hasil tanaman tembakau nasional hanya 40 persen dari kondisi normal.
Baca Juga
"Akibat cuaca yang kurang mendukung, tanaman tembakau saat ini hanya 40 persen dari kondisi normal," kata Suseno di Jakarta pada Selasa (19/7/2022).
Dia menambahkan, situasi industri tembakau berpotensi menjadi lebih bergejolak dan tidak stabil jika pemerintah merealisasikan rencana kenaikan cukai.
Menurutnya, tekanan lanjutan yang muncul dari sisi regulasi mau tidak mau juga membuat posisi harga tembakau tidak berpihak kepada petani.
Senada, Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Benny Wahyudi menyebut kondisi industri hasil tembakau (IHT) sedang mengalami penurunan produksi.
Menurut data Gaprindo, produksi rokok putih tahunan di Tanah Air mengalami pengurangan yang cukup signifikan dalam kurun kurang lebih 5 tahun terakhir, tepatnya sejak 2017.
Benny menjelaskan jumlah produksi rokok putih tahunan nasional berkurang dari 16 miliar batang per tahun pada 2017 menjadi 10 miliar batang per tahun pada 2021.
Dikhawatirkan, sambungnya, berkurangnya peredaran rokok akibat produksi yang menyusut serta kenaikan harga akibat cukai justru menjadi momen bagi produk ilegal untuk kian marak di pasaran.
"Rokok ilegal berpotensi kian marak karena aturan pemerintah membatasi produksi, bukan konsumsi," jelasnya.
Menurut data Gabungan Pabrik Rokok (Gapero), tahun ini rokok ditargetkan mampu berkontribusi Rp188 triliun. Sebagian besar kontribusi berasal dari Jawa Timur, Kabupaten Pasuruan, senilai Rp101 triliun.
Sementara itu, data INDEF menunjukkan sektor IHT menyerap 6 juta tenaga kerja. Sebanyak 2,9 juta merupakan pedagang eceran, 150.000 buruh pabrik, 60.000 karyawan pabrik, 1,6 juta petani cengkeh, dan 2,3 juta petani tembakau.