Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Inflasi Tekan Pertumbuhan, Singapura Perketat Kebijakan Moneter

Pengetatan kebijakan moneter tersebut menyusul pertumbuhan ekonomi yang cenderung datar pada kuartal II/2022 karena aktivitas sektor perdagangan ritel dan transportasi menyusut dari tiga bulan sebelumnya.
Gedung perkantoran Asia Square Tower di pusat finansial Singapura, foto file 2016./Reuters
Gedung perkantoran Asia Square Tower di pusat finansial Singapura, foto file 2016./Reuters

Bisnis.com, JAKARTA – Bank Sentral Singapura memperketat kebijakan moneternya pada Kamis (14/7/2022). Ini merupakan langkah tak terduga kedua tahun ini karena kenaikan inflasi meningkatkan risiko kontraksi ekonomi.

Dilansir Bloomberg pada Kamis (14/7/2022), Otoritas Moneter Singapura (MAS) yang menggunakan valuta asing sebagai alat kebijakan utamanya, memusatkan titik tengah pola kebijakan dolar Singapura (S$NEER) ke level yang berlaku.

Pengetatan kebijakan moneter tersebut menyusul pertumbuhan ekonomi yang cenderung datar pada kuartal II/2022 karena aktivitas sektor perdagangan ritel dan transportasi menyusut dari tiga bulan sebelumnya.

Mata uang Singapura naik sebanyak 0,7 persen terhadap dolar AS dengan laju intraday terbesar sejak Mei. Dolar Singapura terpantau terapresiasi 0,29 persen ke US$1,4003 per dolar AS pada pukul 14.10 WIB.

Sementara itu,  MAS mengerek perkiraan inflasi inti menjadi 3 persen – 4 persen tahun ini dari 2,5 persen - 3,5 persen. Sementara itu, inflasi secara umum diperkirakan melonjak antara 5 persen – 6 persen dari kisaran perkiraan sebelumnya 4,5 persen - 5,5 persen.

Sementara itu, Produk Domestik Bruto (PDB) Singapura hanya naik 0,1 persen pada periode April-Juni dari tiga bulan sebelumnya (qtq). Angka ini meleset dari median estimasi 1 persen dalam survei Bloomberg terhadap para ekonom.

Dibandingkan dengan kuartal II/2021 (year-on-year/yoy), PDB naik 4,8 persen, di bawah proyeksi sebesar 5,4 persen.

Para pejabat Singapura telah memperingatkan bahwa negara-kota yang bergantung pada perdagangan itu dapat rentan terhadap guncangan harga karena perang di Ukraina mengancam pasar komoditas dan lockdown berkelanjutan terkait Covid-19 menekan rantai pasokan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper