Bisnis.com, JAKARTA – Ombudsman Republik Indonesia menduga adanya maladministrasi yang dilakukan Badan Karantina Kementerian Pertanian terkait mewabahnya Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) di Indonesia.
Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, istilah maladministrasi dimaknai sebagai perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika menjelaskan bentuk maladministrasi Badan Karantina yakni dalam bentuk kelalaian dan pengabaian kewajiban dalam melakukan tindakan pencegahan setelah mengetahui adanya dugaan kuat telah terjadi infeksi PMK di beberapa daerah di Indonesia. Padahal, kata Yeka, setiap tahunnya Badan Karantina Pertanian menghabiskan anggaran kurang lebih Rp1 triliun.
“Tidak sedikit uang rakyat digunakan untuk menjalankan tugas pokok dan fungsi Badan Karantina, namun demikian lembaga tersebut gagal dalam membendung pelbagai penyakit eksotik di wilayah Indonesia,” ungkap Yeka dalam jumpa persnya secara virtual, Kamis (14/7/2022).
Yeka menuturkan kronologi ketika PMK ditetapkan sebagai wabah di Indonesia. Per tanggal 28 April 2022, PMK terdeteksi di Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Lalu, tak butuh waktu lama, wabah PMK menyebar ke wilayah lainnya.
Kemudian pada tanggal 5 Mei 2022, Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur mendeklarasikan adanya wabah PMK di Jawa Timur, yang kemudian ditindaklanjuti dengan penetapan wabah PMK oleh pihak Provinsi Jawa Timur pada tanggal 6 Mei 2022.
Selanjutnya, ujar Yeka, pada 9 Mei 2022 pemerintah melalui Kementerian Pertanian menetapkan wabah PMK di dua daerah provinsi, yaitu Jawa Timur dan Aceh.
Merujuk laporan hasil investigasi dugaan kasus PMK di Jawa Timur oleh BB Veteriner Wates Yogyakarta tanggal 6 Mei 2022 terkait pemeriksaan tanda klinis (symptom) penyakit, derajat keparahan penyakit, pola dan laju penularan antar ternak dan antar farm, serta pemeriksaan dan pengujian laboratorium mengindikasikan bahwa kasus penyakit hewan menular yang terjadi di Kabupaten Gresik, Lamongan, Mojokerto dan Sidoarjo Provinsi Jawa Timur, pada akhir April sampai awal Mei 2022, disebabkan oleh infeksi virus Penyakit Mulut dan Kuku (PMK).
“Jadi secara resmi, bukti wabah PMK ini terjadi sejak 6 Mei 2022. Pada 10 Juni 2022, Ombudsman memperoleh informasi bahwa berdasarkan laporan analisis bioinformatika virus PMK oleh BB Veteriner Wates Yogyakarta, virus PMK yang dikoleksi dari penyakit ternak sapi dan kambing pada Mei 2022 di Indoneisa tergolong dalam serotipe O, topotype ME-SA, galur [lineage] Ind-2021, dan sub-linage ‘e’ atau disebut juga sebagai O/MESA/Ind-2001e,” papar Yeka.
Hal ini membuktikan, kata dia, secara jelas bahwa carrier (penyebar virus) PMK di Indonesia adalah sapi dan kambing. Ombudsman menilai rentang waktu dari 6 Mei 2022 (laporan investigasi dugaan kasus PMK) ke 10 Juni 2022 (laporan analisa bioinformatika virus PMK), adalah rentang yang sangat lama.
“Terdapat dugaan kelalain yang dilakukan oleh otoritas veteriner, mengingat empat laporan bioinformatika virus PMK semestinya dapat diberikan selambat-lambatnya pada tanggal 16 Mei 2022,” ujar Yeka.
Dengan tingginya morbiditas atau tingkat penyebaran virus PMK, pada 13 Juni 2022 sebaran kasus sudah mencapai 17 provinsi dalam kurun waktu satu bulan, dan per 13 Juli 2022 wabah PMK sudah menyebar di 22 provinsi di Indonesia.
Dengan demikian, kata Yeka, dalam satu bulan PMK terjangkit di lima provinsi baru yaitu, Bali, Sulawesi Selatan, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, dan Bengkulu.
“Ombudsman menilai, dengan adanya penyebaran PMK di 5 provinsi baru ini, dalam satu bulan terakhir menandakan Badan Karantina jelas jelas gagal dan tidak kompeten dalam menahan penyebaran PMK,” ujarnya.
Berdasarkan pantauan Ombudsman sampai dengan Selasa, 14 Juli 2022 pukul 08.56 WIB pada laman siagapmk.id, total hewan sakit mencapai 366.540 ekor, sembuh 140.321 ekor, mati 2.419 ekor, potong bersyarat 3.698 ekor, belum sembuh 220.102 5 ekor, cakupan vaksinasi 476.650 ekor, dan jumlah sebaran kasus pada 22 provinsi, untuk jenis hewan sapi, kerbau, kambing, domba, dan babi.