Bisnis.com, JAKARTA — Pakar Kebijakan Publik Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat menilai bahwa penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU PPSK) atau omnibus law keuangan merupakan kemunduran atas rezim perekonomian modern. Pelemahan Bank Indonesia menjadi salah satu sorotannya.
Achmad yang juga merupakan Co-Founder Narasi Institute menjelaskan bahwa berdasarkan draf omnibus law keuangan, terdapat sejumlah poin aturan yang menunjukkan kemunduran. Misalnya, penghapusan Pasal 47 huruf c terkait larangan Anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) dalam aktivitas politik.
Dalam Undang-Undang (UU) Nomor 3/2004 tentang Perubahan atas UU 23/1999 tentang Bank Indonesia, tertulis jelas bahwa Anggota Dewan Gubernur baik sendiri maupun bersama-sama dilarang menjadi pengurus dan/atau anggota partai politik. Namun, poin aturan itu dihapus dalam RUU omnibus law keuangan.
"Ke depan, petinggi otoritas moneter BI dan Otoritas Jasa Keuangan [OJK] dapat merupakan pengurus dan/atau orang partai politik. Hal ini adalah kemunduran yang luar biasa karena desain kelembagaan BI dan OJK yang independen dapat diintervensi oleh partai politik, parlemen, dan pemerintah," ujar Achmad pada Kamis (7/7/2022).
Dia menilai bahwa kondisi BI akan kembali ke masa lalu, ketika bank sentral tidak memiliki independensi dalam menentukan kebijakan moneter, kebijakan makroprudensial, dan kebijakan stabilitas sistem keuangan. Bahkan, keputusan internal organisasi pun dinilai akan terganggu karena akan diisi oleh orang-orang dengan afiliasi politik tertentu.
BI bisa membeli SBN
RUU omnibus law itu pun mengusulkan regulasi baru, yakni agar BI dapat membeli surat berharga negara (SBN) di pasar perdana dalam rangka penanganan krisis keuangan. Menurut Achmad, jika aturan itu disetujui, mekanisme burden sharing seperti yang terjadi saat pandemi Covid-19 bisa terus dijalankan.
Baca Juga
"Pemerintah dalam mencari pembiayaan politik anggarannya [APBN] dapat memaksa Bank Indonesia untuk mencetak uang lebih banyak tanpa memikirkan keberlanjutan perekonomian masa depan, seperti tingkat inflasi yang tinggi dan ancaman krisis utang lebih dalam," katanya.
Achmad pun menilai bahwa desain RUU PPSK akan memunculkan lembaga yang lebih kuat (powerful), dengan menteri keuangan selaku Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang menjadi nakhodanya. KSSK yang membawahi BI, OJK, dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) akan memiliki kuasa yang lebih besar.
"BI tidak lagi independen mengatur kebijakan yang berurusan dengan stabilitas keuangan karena dapur kebijakannya dipindah ke KSSK begitu juga OJK," katanya.
Penyelamatan bank tanpa APBN
Achmad juga menyoroti skema baru penyelamatan bank gagal berdampak sistemik, yakni omnibus law keuangan ingin pemilik lama bank gagal bertangggunjawab melalui mekanisme bail in sebelum adanya putusan soal penggunaan uang LPS untuk penyelamatan (bail out). Draf itu menghindari penggunaan uang APBN untuk penyehatan bank.
Dia mengakui bahwa sebenarnya mekanisme itu tidak buruk, tetapi terdapat makna tersirat bahwa dana LPS dan dana dari lender of resort BI akan menjadi satu-satunya harapan penyelamatan bank sistemik. Achmad menilai bahwa hal tersebut merupakan bentuk pelemparan tanggungjawab dari eksekutif pemerintah kepada BI dan LPS.
"Artinya, manakala terjadi bank gagal sistemik, neraca keuangan BI dan LPS yang akan tergerus sementara APBN akan terhindarkan," katanya.
Logika menjadikan BI, LPS, dan OJK sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam penyelamatan lembaga keuangan menurutnya adalah bentuk sistem ekonomi zaman orde baru. Kala itu, menurutnya, BI seringkali menjadi sapi perah untuk kepentingan penguasa.
"Akhirnya terjadi tindakan tidak prudent dalam penggunaan uang BI, yang akhirnya menyeret Indonesia ke krisis ekonomi 1997/1998," kata Achmad.
Adapun omnibus law keuangan dirumuskan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah pada 16 Juni 2022. Menurut Achmad, inisiator RUU PPSK adalah anggota dewan Komisi XI, terutama berasal dari fraksi PDIP yang berkomunikasi intens dengan Menteri Keuangan.
RUU PPSK tersebut didesain menjadi omnibus law yang mengintegrasikan sekitar 16 UU di sektor keuangan. Jika terbit, beleid itu ini akan menjadi RUU sapu jagat kedua setelah omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja.
Menkeu Sri Mulyani enggan berkomentar
Sayangnya, dalam berbagai kesempatan, Menteri Keuangan Sri Mulyani enggan menjawab pertanyaan Bisnis terkait calon omnibus law baru itu. Dia belum memberikan penjelasan terkait RUU PPSK, baik sebagai menteri keuangan, maupun dalam kapasitasnya sebagai Ketua KSSK.
"Nanti saja kalau sudah ada RUU-nya," ujar Sri Mulyani dengan singkat, Rabu (6/7/2022).
Poin lain dalam draf omnibus law itu mengatur skema baru penyelamatan bank gagal berdampak sistemik. Aturan itu ingin menghilangkan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dalam langkah penyelamatan bank kronis.
Selama ini, penanganan bank gagal yang berdampak sistemik kerap menggunakan instrumen fiskal, seperti tercantum dalam UU 3/2004. Namun, catatan kelam penggunaan APBN untuk menyehatkan bank kerap membayangi, misalnya kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan penyelamatan PT Bank Century Tbk.
Sri Mulyani pun menolak berkomentar soal poin aturan skema penyelamatan bank gagal dalam RUU PPSK, bahkan berdalih belum menerima beleid rancangan aturannya. Sebagai informasi, omnibus law keuangan pada mulanya merupakan rancangan aturan usulan pemerintah, tetapi saat ini menjadi RUU usulan DPR.
"Saya belum menerima [dokumennya]," ujar Sri Mulyani saat menjawab pertanyaan Bisnis soal RUU omnibus law keuangan, Selasa (6/7/2022).