Bisnis.com, JAKARTA - Pelaku industri tekstil putar otak untuk menghadapi inflasi global yang melanda sejumlah pusat perekonomian dunia seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa menjadi tantangan bagi industri manufaktur Indonesia.
Menurut Ketua Umum Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta, ada potensi penurunan permintaan dari pasar utama ekspor produk tekstil RI, seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa.
"Sebab, pasar terbesar seperti AS dan Eropa yang terkena inflasi tinggi. Artinya, permintaan mereka turun, otomatis ekspor terganggu," kata Redma kepada Bisnis, Senin (4/7/2022).
Sebagai antisipasi, lanjutnya, pasar dalam negeri mesti memiliki tingkat ketahanan yang tinggi sehingga dalam kondisi tertentu dunia usaha sektor tekstil bisa mempertahankan kinerja secara optimal.
Terkait dengan hal tersebut, Redma menyebut industri TPT Tanah Air memerlukan instrumen agar mampu mempertahankan arus kas dari jual beli produk tekstil.
Salah satu instrumennya, kata Redma, adalah Kepmenkeu No. 23/2022 tentang Batas Barang yang Dibatasi Untuk Diimpor.
Baca Juga
Dia menilai tidak adanya impor TPT akan menjaga stabilitas ketenagakerjaan di industri sehingga daya beli masyarakat tidak terganggu.
"Namun, kalau barang impor masuk, penciptaan lapangan kerja turun, ekonomi dunia lagi tertekan, bahaya untuk daya beli masyarakat," kata Redma.
Terlebih, sambungnya, kondisi global yang sedang tidak kondusif karena terdampak perang Rusia - Ukraina dan masih berusaha pulih dari pandemi Covid-19 membuat perekonomian rentan.
Redma memastikan industri TPT Indonesia mampu menjamin ketersediaan barang pasokan dari hulu ke hilir.
Dengan kapasitas utilisasi di level 70 - 75 persen, ditambah masih terdapat ruangan untuk menambah produk industri, maka rantai pasok sektor TPT Tanah Air mampu memberikan hasil kerja yang optimal.
Hal terakhir yang dinilai sebagai indikator instrumental dari Kepmenkeu No. 23/2022 adalah tidak mengalirnya devisa negara ke luar negeri karena biaya impor.