Bisnis.com, JAKARTA – Gubernur Federal Reserve Jerome Powell mengakui kemungkinan terjadinya resesi di Amerika Serikat akibat kenaikan suku bunga yang tajam.
Mengutip Bloomberg, Powell menyatakan bahwa kebijakan The Fed tersebut dalam upaya mengantisipasi keadaan perekonomian, dan diharapkan dapat mengembalikan inflasi di taraf 2 persen.
Namun, dirinya mengakui secara gamblang bahwa ada risiko bank sentral AS yang tidak dapat menstabilkan harga.
“Risiko lainnya, bagaimanapun, adalah bahwa kami tidak akan berhasil memulihkan stabilitas harga, dan bahwa kami akan membiarkan inflasi yang tinggi ini mengakar dalam perekonomian," ujar Powell di hadapan anggota parlemen, dikutip Kamis (23/6/2022).
Lebih lanjut, Powell menegaskan ekonomi Amerika sangat kuat dan sedang berada dalam posisi yang baik untuk menangani kebijakan moneter yang semakin ketat.
Dirinya mengklaim soft landing menjadi tujuan The Fed, namun mendapat tantangan dari harga komoditas, rantai pasokan, dan situasi perang.
Baca Juga
Sementara itu, Mantan Ketua Fed New York, Bill Dudley menuturkan dalam kolom opini Bloomberg, resesi yang akan terjadi tidak dapat dihindari dalam waktu 12 bulan hingga 18 bulan ke depan.
Beberapa ekonom angkat bicara terkait dengan risiko resesi dan hubungannya dengan langkah hawkish The Fed.
Ekonom LH Meyer, Derek Tang, menyebut risiko resesi terasa sedikit lebih gamblang.
“The Fed tidak mencoba menyebabkan resesi, meskipun bisa terjadi karena terus menaikkan suku bunga,” ujarnya.
Ekonom Bloomberg, Yelena Shulyatyeva dan Anna Wong berpendapat, argumentasi Jerome Powell di hadapan anggota parlemen menunjukkan konsistensinya menerapkan langkah hawkish The Fed.
“Ini menunjukkan para bankir sentral telah mengakui realitas masalah inflasi dan menerima biaya yang akan menyertai kebijakan moneter yang lebih ketat, termasuk meningkatnya risiko penurunan,” ujar mereka.
Para investor pun memperkirakan bank sentral AS tersebut akan terus menaikkan suku bunga ke puncaknya sekitar 3,6 persen pada pertengahan 2023.