Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengeklaim bahwa banyak perusahaan yang hengkang dari kawasan industri di Karawang, Jawa Barat. Penyebabnya adalah upah minimum kota (UMK) di daerah tersebut yang tinggi.
Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani mengatakan saat ini perusahaan yang tersisa di kawasan industri Karawang yakni bersifat padat modal. Sementara itu, perusahaan padat karya memilih untuk angkat kaki dan melakukan relokasi ke beberapa daerah di Jawa Tengah.
Menurut Hariyadi, perusahaan padat karya hengkang dari Karawang karena tidak kuat untuk mengakomodasi UMK setempat yang terlampau tinggi. Untuk diketahui, UMK Karawang 2022 sebesar Rp4,79 juta per bulan bahkan lebih tinggi dari DKI Jakarta yakni Rp4,64 juta.
"Upah minimum di Karawang itu tertinggi di Indonesia, sehingga perusahaan padat karya pasti tidak kuat di situ. Pasti relokasi ke daerah yang upah minimumnya lebih kompetitif," jelas Hariyadi, Senin (20/6/2022).
Apabila dibandingkan, UMK di Jawa Tengah pada 2022 tertinggi yakni Kota Semarang dengan besaran Rp2,8 juta per bulan.
Oleh sebab itu, perusahaan dengan modal menengah hingga kecil dinilai tidak sanggup untuk menyesuaikan dengan ketetapan UMK terkini. Ke depan, Hariyadi mengatakan pemangku kebijakan harus berhati-hati dalam menentukan upah minimum dengan melihat dari berbagai parameter penentu kebijakan.
Baca Juga
"Yang harusnya dilihat dari upah minimum harusnya adalah pemberi kerja yang sensitif terhadap pemberian upah. Jadi, begitu [upah minimum] naik tinggi [perusahaan] yang tidak mampu itu seharusnya jadi pertimbangan," kata Hariyadi.
Kendati demikian, dia menilai perusahaan berbasis padat modal tidak akan terpengaruh oleh adanya kondisi tersebut. Misalnya, seperti industri baterai listrik di Karawang.
"Jadi jangan men-setting upah dengan anggapan [perusahaan] punya uang semua, semua padat modal. Pasti kalau diberlakukan gitu yang [memiliki modal] menengah-kecil gak sanggup dan akhirnya relokasi untuk mencari yang upah minimumnya sesuai cost," tuturnya.
Head of Center of Industry, Trade and Investment INDEF Andry Satrio Nugroho mengatakan transformasi ke proses produksi dengan teknologi tinggi (high-tech manufacture) yang belum banyak terjadi di Karawang turut memicu adanya tren relokasi perusahaan. Proses manufaktur yang sudah lebih maju mensyaratkan buruh yang sudah memiliki pengetahuan (knowledge) dan kemampuan (skill) yang sesuai.
Sementara itu, jelas Andry, perusahaan yang masih berfokus pada traditional manufacturing membutuhkan banyak tenaga buruh dengan cost yang lebih murah. Konsekuensinya, dengan upah minimum buruh di Karawang yang meningkat tinggi, maka pabrik/perusahaan tersebut akan bergeser ke wilayah dengan upah minimum yang rendah.
"Traditional manufacturing butuh tenaga kerja yang besar dan murah jadi perusahaan-perusahaan tersebut tidak mau lagi berada di Karawang. Maka terjadi pergeseran ke wilayah Jawa Tengah yang biayanya dirasa masih cukup rendah," ujar Andry.
Ke depan, PR pemerintah adalah memastikan agar tenaga kerja bisa masuk dalam pasar kerja dengan sudah dibekali proses upskilling dan reskilling agar tidak tertahan di pekerjaan yang berfokus pada traditional manufacturing. Bila perlu, lanjut Andry, pemerintah bisa menggulirkan insentif bagi perusahaan yang meningkatkan kemampuan pekerjanya.
Peningkatan kemampuan pekerja juga dinilai penting agar tidak terjadi mismatch antara investasi yang masuk dengan tenaga kerja yang belum sesuai/mumpuni masuk ke pasar kerja.
"Jangan sampai fokus investasi tapi tenaga kerja tidak bisa masuk pasar kerja akibat adanya proses transformasi yang tidak ideal. Ini jadi hal yang tidak boleh luput dari perhatian pemerintah," ujar Andry.