Bisnis.com, JAKARTA-Dorongan agar pemerintah membuat indeks harga komoditas (IHK) terus didengungkan agar dapat memantau harga serta stok komoditas pangan, terutama minyak sawit.
Namun, hal tersebut mengalami ganjalan, salah satunya tidak ada satupun lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan mengurus minyak goreng. Hal tersebut membuat minyak goreng mau tak mau diserahkan kepada mekanisme pasar.
Ekonom pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Bustanul Arifin mengatakan saat ini hanya beras yang mampu dikendalikan pemerintah baik dari segi harga, produksi, dan pasokan. Sebab, Perum Bulog masih memiliki kekuatan meski tak seistimewa era Orde Baru.
“Apakah bisa masuk ke minyak goreng? Buktinya agak sulit, karena kita tidak punya Bulog-nya minyak goreng. Jadi, teori-teori intervensi, teori-teori stabilisasi harga yang pernah di zaman Orde Baru itu hanya bisa efektif jika ada lembaga parastatal yag mampu menangani itu,” kata Bustanul dalam RDPU dengan Komis VI DPR RI, Selasa (21/6/2022).
Dia mengatakan dengan kondisi saat ini, Indonesia harus lebih dulu memprioritaskan komoditas apa yang akan diamankan setelah beras. Sebab, tidak akan semua komoditas bisa diamankan lantaran ongkosnya yang terbilang besar. Apalagi, Indonesia masih dihadapkan pada ketidakkonsistenan dalam memperbaiki sisi hulu yaitu produksi.
“Jika negara menguasai bukan hanya informasi, tapi akses dan sumber daya baru layak. Jika tidak, agak sulit. Itu pendapat saya,” katanya.
Baca Juga
Bustanul mencontohkan, jangankan minyak goreng, untuk jagung saja tidak ada satu pun Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang menguasai komoditas tersebut. Belum lagi data terkait produksi jagung belum juga tercatat secara akurat.
“Tapi, saya kebetulan Forum Masyarakat Statistik yang sekarang berniat membuat estimasi produksi terhadap jagung nasional mirip dengan beras. Baru data tidak berhasil. Kenapa tidak bisa menghasilkan data yang kredibel, karena data jagung berbeda dengan beras. Sebab beras memiliki lahan baku sawah padi, jagung kita tidak punya lahan baku jagung,” jelasnya.
Di samping itu, Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan pun tidak sepaham dalam menetapkan data produksi jagung nasional. “Data jagung juga juga kontroversial, Kementan dan Kemendag berbeda juga. Saya gak tahu kenapa lama ya. Karena memang ada kepentingan lain, bapak pasti paham kepentingan lain itu,” tutur Bustanul tanpa merinci lebih lanjut.
Oleh karena itu, dia mengungkapkan jika DPR RI ingin mengusulkan dibuat indeks harga komoditas, maka, sisi produksi sampai sistem perdagangannya harus diperbaiki. “Indeks harga komoditas satu sisi, tapi juga harus memperbaiki dengan dimulainya dengan produksi, rantai nilai, governance dan seterusnya,” ucapnya.