Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah masih berupaya menyinkronkan persoalan pemberian Public Service Obligation (PSO) atau subsidi kepada KAI Commuter atas rencana integrasi tarif di layanan transportasi DKI Jakarta.
Dirjen Perkeretaapian Kementerian Perhubungan Zulfikri menjelaskan salah satu alasan yang menjadi ganjalan integrasi tarif adalah pihak yang memberikan PSO tersebut. Saat ini, PSO yang diberikan kepada KAI Commuter berasal dari pemerintah pusat sedangkan PSO untuk moda transportasi lainnya masih berasal dari pemerintah provinsi DKI Jakarta. Hingga kini belum ada kesepakatan dengan pihak-pihak terkait soal mekanisme PSO ini.
“Nah itu kami tentukan dari siapa PSO-nya. Kami tunggu dari operatornya juga. PSO itu ada peraturan dari Presiden, Pemda DKI. Ini yang belum disinkronkan. Supaya beres kita harus lihat dulu,” jelasnya saat ditemui akhir pekan ini.
Zulfikri menyebut untuk menjembatani persoalan ini mungkin saja perlu diterbitkan aturan atau payung hukum baru. Namun, yang jelas, terkait integrasi ini, Zulfikri menyebut bahwa seluruh pihak masih berkoordinasi dan belum ada target spesifik untuk menuju integrasi tersebut.
Sebagai gambaran, dampak integrasi layanan transportasi Jakarta harus melalui tahap akuisisi Kereta Commuter Indonesia (KCI) oleh PT MRT Jakarta. Dalam akuisisi PT KAI dan PT MRT Jakarta sepakat melahirkan perusahaan baru bernama PT MITJ yang ditunjuk sebagai pelaksana integrasi moda transportasi.
Namun, hal ini bisa membuat KAI Commuter kehilangan dana Public Service Obligation (PSO) yang selama ini menjadi sumber pendanaan bagi operasi kereta listrik (KRL).
Baca Juga
Hal ini diutarakan oleh Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio yang menilai status badan usaha hasil akuisisi tersebut tentunya bukan lagi termasuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN). KAI pun tak lagi bisa menerima PSO untuk operasi KCI.
Status perusahaan tersebut nantinya justru tergolong Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dengan komposisi saham MRT yang lebih besar yakni 51 persen dibandingkan dengan KCI sebesar 49 persen.
Sebagai BUMD, MITJ pun memiliki sumber pendanaan yang makin terbatas karena tak mungkin mengandalkan daerah Bodetabek (Bogor, Depok, Bekasi, Tangerang) dengan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) yang lebih minim dibandingkan dengan DKI Jakarta.
“Pendanaan PSO-nya juga dari mana, nggak mungkin kalau meminta dari bodetabek,” ujarnya.
Senada, Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (Instran) Deddy Herlambang membenarkan pemberian dana PSO dari pemerintah pusat hanya berlaku bagi perusahaan BUMN dan bukannya kepada BUMD.
Deddy juga menilai adanya pemborosan biaya investasi dan modal kerja apabila membentuk korporasi-korporasi baru, sementara biaya pemeliharaan pelayanan transportasi selalu mahal. Kapitalisasi pelayanan sebagai akibat MRTJ membeli saham KCI dari dana PEN (pinjaman) pun akan terjadi.
Selain itu sejumlah produk peraturan perundangan akan saling berbenturan apabila rencana akuisisi tetap dilanjutkan. Diantaranya masih berlaku Perpres No. 83/2011 tentang Penugasan kepada KAI untuk menyelenggarakan Prasarana dan Sarana KA Bandara dan Jalur Lingkar Jabodetabek.
Nantinya, sambungnya, MITJ sebagai BUMD yang mengelola 72 stasiun KCI di Jabodetabek akan berhadapan dengan regulasi BMN yang diatur oleh Kemenkeu. Terlebih, secara umum, kata dia, pada Rapat Terbatas Presiden 8 Januari 2019 bukan produk hukum untuk mengakuisisi KCI.
Dengan menilai lebih banyaknya kelemahan dan ancaman dalm persoalan akuisisi saham mayoritas KAI di KAI Commuter oleh MRTJ.