Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut bahwa harga minyak dunia sangat bergejolak atau volatil saat pandemi Covid-19, yakni dapat bergerak dari minus hingga US$120 hanya dalam waktu singkat.
Hal tersebut disampaikan Sri Mulyani dalam rapat kerja bersama Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mengenai evaluasi APBN Tahun Anggaran 2022, Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF), dan dana transfer daerah dalam RAPBN 2023. Rapat itu berlangsung di Gedung DPD, Jakarta pada Selasa (7/6/2022).
"Bapak ibu sekalian pasti masih ingat, April 2020 harga minyak sempat negatif, enggak ada harganya. Sudah muncrat-muncrat di berbagai sumur di dunia enggak ada yang beli. Waktu itu karena kita sedang pandemi," ujar Sri Mulyani pada Selasa (7/6/2022).
Saat itu, bahkan Sri Mulyani bertanya kepada PT Pertamina (Persero) apakah membeli minyak ketika harganya jatuh. Namun, ternyata stok di tangki Pertamina pun penuh karena konsumsi yang sangat rendah, sehingga tidak terjadi pembelian.
Harga minyak dunia kemudian bergerak bertahap, menjadi US$20. Harga minyak lalu merangkak naik hingga US$60 yang masuk kisaran asumsi dalam APBN. Namun, ternyata ketidakpastian global terus mengerek naik harga minyak, hingga US$80 lalu US$100.
Konflik Rusia dan Ukraina kemudian pecah, harga minyak pun naik hingga mencapai US$120. Menurut Sri Mulyani, hal tersebut menggambarkan betapa volatilnya harga emas hitam.
Baca Juga
"Ini hanya untuk menggambarkan betapa dalam dua tahun range minus sampai US$120 bisa terjadi," kata Sri Mulyani.
Sri Mulyani menjelaskan bahwa harga minyak menjadi salah satu indikator utama dalam menentukan keuangan negara, karena berkaitan dengan belanja subsidi energi. Ketika pandemi Covid-19, harga minyak global menjadi bergerak volatil karena ketidakpastian yang tinggi.
Volatilitas itu bahkan sempat membuat harga minyak dunia menjadi negatif selama dua hari pada April 2022. Sebelumnya tak terbayangkan bahwa harga emas hitam bisa sampai negatif atau tidak ada yang membeli.