Bisnis.com, JAKARTA - Transisi energi semacam menjadi keresahan bersama. Dalam diskusi-diskusi publik, tema transisi energi tak pernah bosan untuk dibahas.
Transisi atau masa peralihan energi fosil menuju energi baru terbarukan (EBT) terus dikebut, terutama dalam kampanye menuju Net Zero Emission 2050. Bagi Indonesia, bagaimana pemerintah mendudukan posisi dan rencana ke depan?
Saat ini, konsumsi energi nasional masih didominasi dari energi primer atau fosil. Beralih menggunakan EBT adalah keniscayaan, tetapi apakah kebutuhan energi di negeri ini dapat seluruhnya disubstitusi? Sejauh ini, belum ada pernyataan ahli, pejabat, ataupun pengamat yang berani mengatakan bahwa EBT sepenuhnya dapat mengganti peran fosil dalam beberapa tahun mendatang.
Di tengah transisi energi, pemerintah masih semangat untuk memperluas investasi proyek gas bumi dengan mengintegrasikan pasar-pasar di wilayah Asia, Amerika dan Eropa.
Hal ini bisa jadi terkait dengan proyeksi permintaan energi primer global akan terus tumbuh hingga 2050, seiring peningkatan jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi.
Peneliti sekaligus Direktur Asia Pasifik Wood Mackenzie Angus Rodger memaparkan bahwa pertumbuhan permintaan gas bumi di Asia menguat. Hal ini akan terus terjadi hingga 2050, dengan perkirakan mendekati 140 miliar kaki kubik per hari (bcf/d).
Baca Juga
Bahkan, menurutnya, merujuk skenario Transisi Energi yang Dipercepat (AET-2), di mana kenaikan suhu global dibatasi hingga 2° C, Woodmac memperkirakan permintaan akan hampir sama kuatnya pada 128 bcf/d.
Permintaan yang kuat ini akan didorong oleh peralihan batu bara ke gas serta kebutuhan untuk mendukung pembangkitan energi terbarukan yang terputus-putus.
“Memang Penggunaan energi terbarukan berkembang pesat di seluruh Asia, tetapi dengan dukungan baterai/storage yang masih terbatas, keandalan gas sebagai cadangan diperlukan untuk memastikan stabilitas jaringan,” ujarnya, dalam sebuah publikasi, 25 November 2021.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Tutuka Ariadji mengatakan investasi dalam proyek gas alam perlu ditingkatkan secara global untuk mendorong penggunaan gas alam yang lebih besar.
“Penting juga untuk mendorong integrasi pasar gas di antara tiga wilayah terbesar gas alam yaitu Asia, Amerika Utara dan Eropa,” ujarnya, dalam keterangan resmi.
Kementerian ESDM optimistis, kerja sama internasional termasuk melalui G20, akan berkontribusi lebih dalam meningkatkan peran gas untuk mendukung netralitas karbon.
Menurut Tutuka, untuk mencapai NZE, setiap negara memiliki pendekatannya sendiri untuk mempromosikan transisi energi bersih. Transisi energi harus dilakukan secara komprehensif dalam berbagai tahapan dengan mempertimbangkan daya saing, biaya, ketersediaan dan keberlanjutan untuk memastikan transisi berjalan lancar dan ketahanan energi tidak terganggu.
Untuk Indonesia sendiri, sejak pertama kali diproduksi pada 1965, gas bumi untuk keperluan rumah tangga di Indonesia terus meningkat. Sebelumnya, gas lebih banyak digunakan untuk tujuan ekspor.
Saat ini, lebih dari 60 persen produksi gas Indonesia digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Adapun total cadangan gas sebesar 62,39 TSCF tersebar di seluruh wilayah di Indonesia. Pemerintah Indonesia mengundang semua calon investor untuk berkontribusi dalam mengembangkan cadangan.
“Pemerintah menawarkan kemudahan berusaha dan fasilitas pendukung bagi investor, mulai dari regulasi, perizinan, hingga insentif fiskal dan non fiskal,” paparnya.
Adapun dalam Rencana Umum Energi Nasional sebagaimana diatur dalam Perpres No 22/2017 memproyeksikan porsi energi fosil dalam bauran energi Indonesia pada 2050 mendatang sekitar 68,80 persen.
Saat ini, porsi energi fosil dalam bauran energi masih sekitar 89 persen, yang terdistribusi atas: batubara 38 persen, minyak bumi 32 persen, dan gas bumi 19 persen.
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Satya Widya Yudha, mengatakan strategi transisi energi nasional peranan gas bumi menjadi salah satu yang terpenting dalam rangka pemenuhan kebutuhan energi.
"Gas bumi dianggap memiliki peran yang terpenting karena jenis sumber energi ini memiliki intensitas karbon yang lebih rendah daripada minyak dan batu bara sehingga cenderung lebih bersi," ujarnya.
Melihat potensi dan pasokan dalam negeri, pemerintah diminta tidak gegabah dalam menyusun strategi transisi energi. Satya menambahkan hal yang perlu ditekankan dalam transisi energi adalah mencari keseimbangan yang tepat agar produksi migas bisa berjalan dan emisi karbon bisa dikurangi sesuai dengan target pemerintah.
Dalam konteks pengembangan gas bumi, Satya mengingatkan pemerintah untuk menyediakan infrastruktur yang diperlukan sehingga suplai gas bumi dari produsen kepada konsumen di dalam negeri bisa terserap secara maksimal.
Jika minim infrastuktur, maka diperkirakan akan terjadi kelebihan pasokan gas bumi dan kemudian memilih untuk diekspor. Kondisi tersebut dianggap tidak memberikan manfaat terhadap kebutuhan energi nasional.
Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro, mengatakan pemanfaatan gas bumi untuk kepentingan domestik dapat digunakan sebagai jembatan dalam pelaksanaan transisi energi di Indonesia.
“Tujuan utama dari kebijakan transisi energi pada dasarnya adalah upaya mengurangi tingkat emisi, bukan semata-semata hanya mengganti sumber energi fosil dengan EBT," ujarnya.
Sebagai sumber energi fosil yang dinilai relatif bersih, porsi pemanfaatan gas bumi dalam bauran energi primer secara otomatis akan mengurangi tingkat emisi yang ada pada sektor energi.