Bisnis.com, JAKARTA- Serikat Petani Indonesia (SPI) mengatakan seharusnya pemerintah merevisi penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah lantaran jauh dari penghasilan hidup layak. SPI meminta untuk gabah kering panen (GKP) direvisi menjadi Rp4.500/kilogram (kg) dan gabah kering giling (GKG) di atas Rp5.500/kg.
Mengacu Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 24 Tahun 2020 tentang Penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP), untuk GKP di tingkat petani sebesar Rp4.200/kg dan di tingkat penggilingan sebesar Rp4.250/kg, serta GKG di tingkat penggilingan Rp5.250/kg.
Kepala Pusat Pengkajian Dan Penerapan Agroekologi SPI Muhammad Qomarunnajmi, mengatakan pihaknya meminta revisi lantaran biaya produksi petani tidak sebanding dengan harga penjualan.
“Berat sebenarnya di petani (HPP sekarang). Makanya kita minta harus ada revisi ya soal harga karena sudah 2 tahun tidak ada. Misalnya biaya pupuk. Memang subsidi ya tapi kuota terbatas jadinya petani beli yang non subsidi akhirnya. Tahun ini saja naik 2x lipat. Artinya biaya produksi naik, belum biaya yang lain-lain,” ujar Muhammad saat dihubungi Bisnis, Rabu (11/5/2022).
Dia tak menampik dengan dengan HPP saat ini petani bisa untung. Asalkan, bisa menanam di lahan yang luas. Namun, kondisi petani Indonesia, kata dia, lahannya tidak sampai 3000 meter. Belum lagi, herga gabah petani kerap dibeli di bawah harga HPP.
“Ya paling dapat 2 ton. Jika HPP 4.000 kali 4 bulan, 8 juta. Itu baru penjualan, belum dikurangi biaya produksi. Jadi sisanya 4 juta, masa sebulan Rp 1 juta. Itu juga kalau berhasil, kadang-kadang ya gagal panen juga. Kita tidak punya jaminan penghasilan yang layak,” ungkap Muhammad yang merupakan petani asal Sleman, Jawa Timur, itu.
Baca Juga
Lebih lanjut, dia meminta peran Perum Bulog perannya kembali diperluas sehingga bisa menyerap gabah petani secara masif. Akibat minimnya serapan Bulog, ujar dia, petani harus rela menjual gabahnya dengan harga murah.
Selain itu, Muhammad meminta agar pemerintah turut memberikan pendampingan secara simultan agar petani lebih maju.
“Memang pemerintah punya acuan harga itu ya HPP, cuma pemerintah sendiri tidak bisa menyerap semua. Jadi, sebagian besar gabah ya ke pasar. Lalu pemerintah juga syarat-syarat membeli gabah petani ribet. Harusnya jika syaratnya yang seperti ini, ada pendampingan ke petani, sehingga gabah yang diminta dari petani masuk ke level kualitas Bulog.”
Ke depannya, dia berharap pemerintah berkaca pada negara tetangga seperti Thailand dan Vietnam dalam mengurusi pangan. “Kita petani juga punya keterbatasan pasca panen itu seperti keterbatasan alat, misalnya pengeringan tidak ada. kalau mau berkaca ke negara tetangga kayak Vietnam dan Thailand, mereka didukung permodalan, teknologi dan punya asuransi,” tuturnya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag Oke Nurwan mengaku saat ini memang sedang ada pembahasan soal revisi HPP.
“Kalau terkait HPP sedang dalam pembahasan. Karena dalam permendag 07 banyak komoditinya sehingga perlu waktu untuk pembahasannya,” ujarnya lewat pesan singkat, Rabu (11/5/2022).
Disinggung terkait akan naik atau tidaknya HPP, Oke tidak menjawab dengan tegas. “Masih dalam proses untuk penyesuaiannya,” ucapnya.
Menurut survei Badan Pusat Statistik atau BPS, tren kasus pembelian gabah di bawah HPP terus meningkat dari periode ke periode sepanjang tahun ini. Januari naik 4,47 persen, Februari 12,57 persen, Maret 18,73 persen, dan April 33,60 persen.