Bisnis.com, JAKARTA – Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) mensinyalir maraknya impor benang dari beberapa negara lantaran pengawasan yang lemah di pintu masuk kepabeanan. Maraknya impor tersebut berakibat pada menurunnya volume produksi dan penjualan domestik sebulan terakhir.
Sekretaris APSyFI Redma Gita Wirawasta mengungkapkan kelemahan sistem Bea Cukai dalam mengawasi barang yang masuk dari luar negeri menjadi biang keladi. Menurutnya, Bea Cukai hanya memeriksa dokumen tanpa memeriksa barang.
“Jadi kan importir-importir ini lewat jalur hijau jadi gak bakalan diperiksa. Mereka cuma periksa dokumen tapi tidak diperiksa barang. Kalau diperiksa barang pasti ketahuan itu HS [Harmonized System] nya. Kalau di dokumen kan bisa aja dia pake HS B, padahal sebenarnya HS-nya A yang di-safeguard,” ujarnya saat dihubungi, Rabu (27/4/2022).
Redma mengatakan kelemahan lainnya sistem checking di Bea Cukai lantaran Master B/L (diterbitkan oleh perusahaan pelayaran) tidak pernah diperiksa Bea Cukai.
“Tapi periksanya Pemberitahuan Impor Barang [PIB]. Sedangkan PIB dibuat oleh importir. Kalau Master B/L dibuat forwarder. Sama eksportir/forwarder ada insurance-nya juga. itu kan gak mungkin bohong, kalau disebut A ya A, B ya B,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Redma menuturkan pihaknya bersama Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) saat ini sedang mengusulkan agar 40 HS segera disafeguard.
Namun, hingga saat ini, penyelidikan KPPI baru meliputi impor barang benang (selain benang jahit) dari serat stapel sintetik dan artifisial yang mencakup sebanyak enam nomor HS 8 digit, yaitu 5509.22.00, 5509.32.00, 5509.51.00, 5509.53.00, 5510.12.00, dan 5510.90.00, sesuai dengan Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI) tahun 2017.
Menurut Redma, barang benang impor tersebut tentunya sangat merugikan pelaku usaha benang dan pemintalan. “Impor benang ini legal tapi spanyol, separuh nyolong. Karena mereka mengganti HS-nya,” ucapnya.
Benang yang diimpor tersebut, kata Redma, jauh lebih murah dibandingkan dengan buatan produsen Indonesia. Sebab, kata dia, produsen di negara-negara pengimpor rata-rata disubsidi pemerintahnya.
"Semisal di China, mereka di hulunya disubsidi. Belum lagi pengimpor sana dapat kebijakan dapat 9-10 persen dari yang diekspor. Meski dijual murah mereka tetap untung," ujarnya.
Adapun impor selain dari China, impor juga datang dari Vietnam, Thailand, dan India. Jumlah impor benang terbesar berasal dari China dengan pangsa impor pada 2021 sebesar 68,45 persen, diikuti Vietnam 14,80 persen, Thailand 10,26 persen, dan India 4,14 persen.
Dampaknya, lanjut Redma, sangat besar bagi pelaku usaha. “Nominalnya perkirakan 100.000 ton dikali harga US$2,5 per kilogram. Kalau itu dibuat di dalam negeri itu 100.000 ton bisa sekitar 2 sampai tiga pabrik. Tenaga kerjanya 1.000 orangan,” jelasnya.
Di tengah gaung mencintai produk dalam negeri, banjir impor tersebut memang menjadi ironi. Redma menilai wacana tersebut hanya ada di tataran para pejabat dan presiden. “Soal cinta dalam negeri, birokrat-birokrat ini lobi importirnya kenceng juga. Kalau pak Presiden dan Menteri orang baru. Yang lama ini birokrat. Kalaupun ada aturan dia bisa menyiasati. Menteri kan gak ke detail-detail seperti ini,” ungkapnya.
Padahal, Redma menilai di tengah situasi perang dan pandemi ini, pangsa pasar dalam negeri sangat krusial.
“Ini kan lagi perang, harga minyak tidak bisa diprediksi. Mau gak mau kita harus ke pasar domestik. Kalau ekspor tetap ada, tapi dengan kondisi begini lebih rentan dengan perubahan-perubahan. Sekarang ongkos udah turun tapi level tinggi. Ekspor ini cuma tambahan," tambahnya.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik selama periode 2019—2021, telah terjadi penurunan jumlah impor barang benang dengan tren sebesar 9,45 persen. Pada 2019—2020, terjadi penurunan jumlah impor 53,03 persen. Tetapi pada 2020—2021, terjadi peningkatan jumlah impor sebesar 74,56 persen.