Bisnis.com, JAKARTA – Seiring pelarangan ekspor refined, bleached, deodorized (RBD) palm olein sebagai bahan baku minyak goreng, pengawasan rantai produksi tetap harus dijalankan.
Peneliti di Pusat Industri, Perdagangan dan Investasi Indef Ahmad Heri Firdaus mengatakan akan ada dampak dari pelarang ekspor tersebut seperti penurunan utilitas kapasitas produksi RBD olein, dan pasokan bahan baku untuk pabrikan dalam negeri yang berlebihan sehingga tak terserap seluruhnya.
Namun, aliran produksi CPO untuk RBD palm olein perlu diawasi sehingga tidak justru beralih ke produk turunan lainnya, seperti biodiesel.
"CPO ini turunannya banyak sekali. Sekarang bagaimana agar turunan CPO diarahkan untuk memproduksi bahan baku minyak goreng, tidak untuk yang lain," kata Heri kepada Bisnis, Selasa (26/4/2022).
Menurut Heri, ketika ekspor RBD palm olein disetop, tidak serta merta menjadikan bahan baku minyak goreng melimpah. Pengawasan dan penelusuran pohon industri dan rantai produksi yang selanjutnya memainkan peranan.
Jika selama ini penghiliran CPO menjadi RBD palm olein untuk kebutuhan dalam negeri mengalami kendala, maka utilitas kapasitas produksi untuk orientasi ekspor bisa dimanfaatkan.
Menurut catatan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), ekspor RBD palm olein sepanjang tahun lalu mencapai 12,73 juta ton dengan nilai US$13,40 miliar. Adapun, produksi untuk konsumsi dalam negeri sebesar 8,30 juta ton.
Sementara itu, instrumen pengawasan yang dibangun Kementerian Perindustrian melalui Sistem Informasi Minyak Goreng Curah (Simirah) perlu diperkuat oleh kementerian dan lembaga lain untuk memastikan lalu lintas perdagangan dan logistik tak terkendala.
"Minyak goreng ini produk turunan CPO yang tidak terlalu high tech, tidak seperti biodiesel atau farmasi yang memerlukan proses pengolahan dan teknologi yang advance. Seharusnya secara alami bisa [industri dalam negeri memenuhi kebutuhan], karena bahan baku melimpah," jelasnya.