Bisnis.com, JAKARTA – Pelarangan ekspor minyak goreng dan crude palm oil (CPO) diperkirakan menggerus neraca perdagangan Indonesia.
“Tentunya [berdampak] kalau 12 persen porsi ekspor non migas turun, maka surplus perdagangan akan anjlok bahkan bisa tersisa menjadi US$1—1,5 miliar dari posisi Maret yang surplus mencapai US$4,5 miliar,” kata Direktur of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira saat dihubungi, Minggu (24/4/2022).
Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa apabila pemerintah hanya fokus terhadap pemenuhan kebutuhan dalam negeri, maka tidak perlu untuk menghentikan ekspor.
Penyebabnya, kebijakan tersebut diyakini akan mengulang kesalahan penghentian ekspor mendadak pada komoditas batu bara pada Januari 2022.
“Apakah masalah selesai? Justru sebenarnya tidak, malah diprotes oleh calon pembeli di luar negeri,” katanya.
Dia melanjutkan, India, China, dan Pakistan tentunya akan menjadi negara yang akan memberikan respons keras karena mereka adalah importir CPO terbesar dan merasa dirugikan dengan kebijakan tersebut.
Selanjutnya, biaya produksi manufaktur maupun harga barang konsumsi di tiga negara tersebut akan naik signifikan dan Indonesia yang akan disalahkan. Bahkan, dalam kondisi terburuk bisa timbulkan retaliasi atau pembalasan yakni negara yang merasa dirugikan menghentikan untuk mengirim bahan baku yang dibutuhkan Indonesia.
“Bila terjadi balasan maka fatal itu,” ujarnya.
Menurutnya, pemerintah seharusnya cukup mengembalikan kebijakan domestic market obligation (DMO) CPO 20 persen lantaran diyakini dapat memenuhi kebutuhan minyak goreng dalam negeri.
“Kemarin saat ada DMO kan isunya soal kepatuhan produsen yang berakibat pada skandal gratifikasi. Pasokan 20 persen dari total ekspor CPO untuk kebutuhan minyak goreng lebih dari cukup. Estimasi produksi CPO setahun 50 juta ton, sementara penggunaan untuk minyak goreng hanya 5—6 juta ton alias 10 persen. Sisanya mau disalurkan kemana kalau stop ekspor?” tuturnya.
Dampak lain yang terjadi juga akan menghajar dan memberikan kerugian harga tandan buah segar (TBS) di level petani akan anjlok.
Hal ini dikarenakan, selama Maret 2022 ekspor CPO bernilai US$3 miliar sehingga estimasi pada Mei 2022 apabila asumsinya pelarangan ekspor berlaku sebulan penuh, maka Indonesia berpotensi kehilangan devisa sebesar US$3 miliar atau setara Rp43 triliun dan angka itu setara 12 persen total ekspor non migas.
“Ini bisa mengganggu stabilitas rupiah juga karena devisa ekspornya terganggu. Jadi, tolong pak Jokowi pikirkan kembali kebijakan yang tidak solutif ini,” katanya.