Bisnis.com, JAKARTA – Ketua Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga menyayangkan banyaknya pemeriksaan dari Satgas Minyak Goreng, Kejaksaan Agung, dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Hal tersebut, ujar Sahat, justru mengganggu produsen minyak sawit untuk melakukan produksi. Padahal, kata dia, kebutuhan minyak goreng, khususnya minyak curah sangat tinggi pada saat Ramadan dan menjelang Lebaran.
“Jadi kita jangan dulu diganggu oleh pihak-pihak luar, seperti Satgas, Kejagung, KPPU. Itu semua masuk ke pabrik. Kapan kita mau kerja kalau kita diobrak-abrik. Polisi kan sudah menyatakan tidak ada bukti penimbunan. Jadi protes kami bahwa jangan didatangi banyak pihak dulu, biar kami tenang bekerja,” ujar Sahat kepada Bisnis, Rabu (20/4/2022).
Menurut dia, banyak rekan-rekan pengusaha mengeluhkankedatangan pihak-pihak tersebut. Bahkan, koleganya ada yang mengancam akan mengundurkan diri dalam program minyak goreng curah.
“Anggota-anggota kami gelisah dengan penangkapan-penangkapan ini. Jika begini ngapian kita ikut di SIMIRAH dan SIINas menggelontorkan minyak goreng curah,” ungkapnya.
Selain itu, Sahat pun menilai penetapan tiga orang dari pelaku usaha sawit sebagai tersangka oleh Kejagung dalam kasus dugaan korupsi terkait pemberian izin ekspor minyak sawit mentah masih perlu dibuktikan lebih lanjut.
Ketiga kolega Sahat yang juga petinggi di perusahaan minyak yang dijadikan tersangka yakni Senior Manager Corporate Affair Permata Hijau Group Stanley MA; Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia Master Parulian Tumanggor; dan General Manager PT Musim Mas Picare Togare Sitanggang.
Menurut dia, untuk memperoleh perizinan ekspor (PE) crude palm oil (CPO) atau minyak kelapa sawit mentah dari Kementerian Perdagangan dibutuhkan persyaratan yang ketat.
Pertama, eksportir yang sudah merealisasikan ketentuan kewajiban pasar domestik atau domestic market obligation (DMO) harus menyerahkan bukti-bukti.
“Pertama ada realisasi purchase order. Jadi industri bisa mengeluarkan ekspor minyak goreng DPO dan DMO itu kalau ada purchase order dari pembeli. Kemudian harus jelas pengirimannya itu ada, di print order,” jelas Sahat.
Kemudian ketiga, kata Sahat, eksportir pun harus menyerahkan faktur pajak pembeli. Baru kemudian Kemendag bisa mengluarkan surat PE.
“Itu susah dimanipulasi, susah. Itu bukan elektronik tapi hardcopy. Jadi ada bukti-buktinya,” ucap Sahat.