Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Inflasi Berpotensi Capai 5,5 Persen jika Petralite hingga Tarif Listrik Naik

Inflasi sebesar 5,5 persen lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi sebelum pandemi Covid-19.
Sejumlah pengemudi kendaraan mengisi BBM di salah satu SPBU yang dikelola Pertamina MOR II Sumbagsel. /Istimewa
Sejumlah pengemudi kendaraan mengisi BBM di salah satu SPBU yang dikelola Pertamina MOR II Sumbagsel. /Istimewa

Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah telah menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 11 persen per 1 April dan menaikkan harga Pertamax menjadi Rp12.500 per liter. Keputusan yang diambil tersebut, sebelumnya sempat dikhawatirkan dapat berdampak pada kenaikan inflasi.

Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal memproyeksikan potensi inflasi akan berada di atas 2,5 persen jika tidak ada kenaikan tarif PPN 11 persen dan kenaikan harga Pertamax.

"Tanpa ada tambahan kebijakan, sebetulnya [inflasi] sudah jauh lebih tinggi  dibandingkan inflasi pada 2021 di level 1,8 persen. Tapi karena ada kenaikan tarif PPN dan Pertamax pada April 2022 ini potensi inflasinya full year sampai dengan akhir tahun 3,5 persen atau bertambah satu persen," Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal dalam CORE Media Discussion, Selasa (19/4/2022).

Jika pemerintah melanjutkan rencananya untuk menaikan berbagai komponen kebutuhan yang vital seperti harga Pertalite, gas LPG dan tarif listrik, menurut Faisal potensi kenaikan inflasi dapat mencapai 5 persen. Bahkan, bisa mencapai 5,5 persen jika semua rencana pemerintah tersebut dilakukan.

Artinya, akan ada lonjakan inflasi yang sangat jauh, jika dibandingkan dengan inflasi pra-pandemi maupun dua tahun awal pandemi.

"Kita tahu pra pandemi itu [inflasi] sekitar 3 persen. Jadi kita bayangkan setelah lebih dari 5 tahun inflasi itu rendah, bisa terasa dampaknya kepada masyarakat peningkatan daripada harga ini," ujarnya.

Yang juga menjadi perhatiannya adalah dampak dari inflasi yang memberikan rasa yang berbeda terhadap kelompok atas dan kelompok bawah.

Dia mencontohkan, ketika harga minyak goreng mencapai Rp50.000 per dua liter kelompok kelas atas tidak akan merasakan dampaknya. Berbanding terbalik dengan kelompok bawah, yang mana harus mengantri untuk mendapatkan minyak goreng.

Sehingga, kata dia perbedaan nasib tersebut perlu disoroti, bukan hanya masalah pertumbuhan ekonomi secara agregat.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Ni Luh Anggela
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper