Bisnis.com, JAKARTA – Asosiasi Produsen Oleochemical Indonesia (Apolin) memperkirakan capaian ekspor oleokimia naik sekitar 11,9 persen year-on-year (yoy) atau mencapai 4,7 juta ton senilai US$4,7 miliar.
Ketua Umum Apolin Rapolo Hutabarat optimistis jumlah dan nilai ekspor dapat meningkat berdasarkan kinerja dua bulan pertama pada 2022 yang mencapai 0,61 juta ton dengan nilai US$0,89 miliar.
Meski volume ekspor Januari-Februari 2022 turun dari periode yang sama pada tahun lalu, nilai ekspor meningkat hingga 57,6 persen yoy.
“Kita bersyukur, baik dari volume dan nilai ekspor terus meningkat sejak 2019. Ekspektasi volume mencapai 4,7 juta ton dengan nilai US$4,7 miliar,” ujar Rapolo saat acara Buka Puasa Bersama Wartawan di Sekretariat Apolin, Jakarta Selatan, Senin (18/4/2022).
Berdasarkan data Apolin, pada 2019 tercatat volume ekspor sebesar 3,22 juta ton dengan nilai US$2,04 miliar. Pada 2020 volume dan nilai meningkat menjadi 3,77 juta ton senilai US$2,64 miliar. Sementara pada 2021 ekspor tercatat sebanyak 4,20 juta ton senilai US$4,42 miliar atau naik 8,3 persen yoy.
Rapolo memaparkan China masih menjadi negara tujuan utama untuk ekspor diikuti Uni Eropa dan India. Pada 2021, China mengonsumsi sebanyak 1,60 juta ton oleokimia yang bernilai US$1,51 miliar. Nilai tersebut jauh tinggi dari tingkat konsumsi Uni Eropa yang hanya sebanyak 0,59 juta ton.
Baca Juga
Meski demikian, saat ini Apolin tengah menghadapi hambatan baik dari dalam dan luar negeri. Rapolo melaporkan bahwa mereka mendapat tuduhan dari Uni Eropa (UE) dan India terkait dumping akibat pemberian subsidi dari pemerintah.
Apabila tuduhan tersebut diproses, maka produk oleokimia terpaksa disita dalam waktu tertentu yang berpotensi merugikan baik dari segi tenaga kerja maupun keuangan.
“Bila Indonesia disalahkan, potensi kehilangan untuk pasar UE mencapai lebih dari Rp6 triliun dan pasar India sekitar Rp8 triliun,” papar Rapolo.
Terlebih lagi, serapan tenaga kerja pada satu unit tersebut sekitar 1.100. Jika beberapa unit terpaksa dibekukan, maka akan mengganggu kehidupan para pekerja. Apolin berencana menggugat tuduhan tersebut kepada Organisasi Dagang Dunia (WTO) dalam waktu dekat.
“Mau tidak mau kita minta uluran tangan pemerintah. Kita sudah koordinasi dengan Kemendag, Kemenko, Kemenperin, dan Kemenkeu supaya mendapat tanggapan dan dukungan,” lanjut dia.
Tak hanya itu, ia menyebutkan industri oleokimia juga tertekan di dalam negeri akibat adanya Peraturan Presiden No. 121/2021 mengenai perubahan Perpres No. 40/2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi. Pasalnya, dari 90 persen industri oleokimia yang mendapatkan harga gas US$6 per MMBTU yang ditentukan hingga 2024, saat ini hanya 80 persen yang menerimanya.
“Secara umum, baru 80 persen yang menerima alokasi dengan harga US$6 [per MMBTU], yang 20 persen lagi dikenakan tarif komersial,” ujarnya.
Rapolo tetap optimistis kinerja oleokimia akan terus meningkat pada tahun ini yang tentunya perlu dukungan pemerintah dan stakeholder terkait.
“Mudah-mudahan kinerja oleokimia kita bisa terus meningkat, tidak bisa terlepas dari dukungan pemerintah, logistik, dan tentunya ketersediaan bahan baku,” tutup Rapolo.