Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Potensi Gelombang Resesi Global, dari Perang hingga Lonjakan Inflasi

Sri Lanka dan Pakistan jatuh lebih dalam ke lubang krisis setelah PBB memperingatkan badai besar pada negara berkembang karena kenaikan harga komoditas.
Seorang warga tengah berbelanja kebutuhan makanan di salah satu pusat perbelanjaan Amerika Serikat (AS). Inflasi AS menyentuh level 7,9 persen pada Februari 2022, sekaligus level tertinggi sejak tahun 1982./Bloomberg
Seorang warga tengah berbelanja kebutuhan makanan di salah satu pusat perbelanjaan Amerika Serikat (AS). Inflasi AS menyentuh level 7,9 persen pada Februari 2022, sekaligus level tertinggi sejak tahun 1982./Bloomberg

Bisnis.com, JAKARTA - Inflasi melaju dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya dengan diikuti sikap hawkish bank sentral yang memicu gelombang resesi. Hal ini ditambah lagi dengan perang di Ukraina.

Dilansir Bloomberg, Senin (18/4/2022), Amerika Serikat dan Inggris telah masuk dalam gelombang inflasi tertinggi dibandingkan sejak tahun 1980-an.

Sementara itu, bank sentral Kanada dan Selandia Baru mengerek 50 basis poin untuk pertama kalinya dalam 22 tahun.

Bank of America Corp., melaporkan bahwa manajer dana mengungkapkan proyeksi paling bearish dalam memperkirakan pertumbuhan dan JPMorgan Chase & Co. meningkatkan cadangannya untuk melindungi diri dari kemerosotan ekonomi.

Sementara itu, Sri Lanka dan Pakistan jatuh lebih dalam ke lubang krisis setelah PBB memperingatkan badai besar pada negara berkembang karena kenaikan harga komoditas. World Trade Organization juga memangkas proyeksinya untuk perdagangan.

Pembuat kebijakan Sri Lanka berangkat ke Washington pada pekan ini untuk bertemu dengan International Monetary Fund dan World Bank.

IMF mengatakan bahwa peperangan ini akan memangkas proyeksi perekonomian 143 negara pada tahun ini atau sebesar 86 persen PDB global.

"Kami menghadapi krisis di atas krisis,” kata Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva.

Analis Bloomberg Economic Tom Orlik mengatakan kombinasi dampak perang dan virus corona akan berujung pada pertumbuhan yang melandai. Selain itu, kenaikan inflasi dan ketidakpastian yang terelevasi.

"Rusia memangkas suplai gas atau lockdown di China meluas dari Shanghai hingga ke kota besar lain menjadi katalis yang memungkinkan," ungkap Orlik.

Namun, kondisi yang berbeda terjadi pada negara lain yang lebih kaya. Rumah tangga di negara berkembang masih memiliki pendapatan 11-14 persen dari tabungan, menurut analisis JPMorgan Chase.

Leverage berada pada posisi terendah selama beberapa dekade dan pendapatan naik sekitar 7 persen di tengah pengetatan pasar tenaga kerja, katalis untuk potensi rebound di paruh kedua tahun ini.

Di AS, laporan pekan lalu tentang penjualan ritel dan sentimen konsumen menawarkan harapan semua konsumen tidak mundur meskipun ada guncangan harga.

CEO Eurizon SLJ Capital, sebuah perusahaan dana lindung nilai dan penasihat di London, Stephen Jen mengatakan lebih banyak alasan bagi perekonomian global untuk melambat daripada terakselerasi.

"Namun, apakah itu akan jatuh ke dalam resesi adalah cerita yang berbeda, sederhananya karena penurunan Covid di seluruh dunia akan melepaskan permintaan besar yang terpendam," ungkapnya.

Sementara itu, sekitar 84 persen orang Amerika telah berencana untuk memangkas belanjanya karena kenaikan harga, menurut Harris Poll untuk Bloomberg News.

Adapun bank sentral juga mengerek suku bunga dengan kemungkinan The Fed menaikkan benchmark hingga 0,5 persen pada bulan depan, yang pertama kali sejak Mei 2000. Bank sentral AS juga mengurangi portofolio obligasinya.

"Pertumbuhan yang jauh lebih lambat karena bank sentral perlu merespons dengan mengetatkan kebijakan sehingga kondisi keuangan akan mengetat dan itu akan menahan permintaan," kata Karen Dynan, Senior Fellow di Peterson Institute untuk Ekonomi Internasional.

Dynan memperkirakan proyeksi ekonomi terbaru IMF yang akan dipublikasikan pada Selasa akan melambat 3,3 persen pada tahun ini dibandingkan dengan 5,8 persen pada 2021.

Menurutnya, negara ekonomi maju hanya akan tumbuh moderat tahun ini dan melemah pada 2023.

Adapun negara berkembang yang lebih maju akan mengalami perubahan di mana India akan meningkat, tetapi China mulai guncang akibat lockdown dan penurunan sektor properti.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Nindya Aldila
Editor : Farid Firdaus
Sumber : Bloomberg
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper