Bisnis.com, JAKARTA – Kamar Dagang Indonesia (Kadin) menyebut surplus neraca perdagangan pada Maret yang mencapai US$4,53 miliar bukan sebuah kabar gembira dan tidak patut untuk dirayakan.
Kendati demikian, ia mengakui surplus neraca perdagangan tersebut dapat menciptakan sentimen positif untuk menjaga stabilitas makro.
Wakil Ketua Umum Kadin Shinta Widjaja Kamdani mengatakan peningkatan neraca perdagangan tersebut hanya dipicu peningkatan penerimaan ekspor dari komoditas mentah dan bersifat sementara akibat konflik geopolitik. Hal tersebut, menurutnya, tentu tidak berkelanjutan dan kontraproduktif.
“Jadi meskipun positif terhadap penerimaan PDB [Produk Domestik Bruto] jangka pendek, kinerja ini kami rasa tidak sustainable dan sebetulnya kontraproduktif dengan upaya-upaya pertumbuhan jangka panjang nasional seperti agenda hilirisasi, peningkatan sophistication of domestic manufacturing industry, atau peningkatan kinerja ekspor produk bernilai tambah,” ujarnya saat dihubungi Bisnis, Senin (18/4/2022).
Shinta melanjutkan saat ini kinerja industri manufaktur sedang mengalami kesulitan untuk meningkatkan daya saing karena harga bahan baku makin mahal.
Dalam jangka pendek, Shinta mengatakan ekspor komoditas seperti migas, batu bara, CPO, biofuel dan besi baja akan terus mendominasi kinerja ekspor nasional karena efek konflik Rusia-Ukraina akan mengerek permintaan ekspor global. Setidaknya, kata Shinta, tingginya permintaan produk ekspor tersebut belum akan mereda dalam jangka pendek.
“Kalau kita mau memanfaatkan momentum ekspor tanpa menyusahkan pasar atau industri dalam negeri satu-satunya cara adalah meningkatkan yield atau produktifitas output ekspor komoditas-komoditas tersebut. Kalau dua kali lipat dari biasanya untuk memastikan pasokan komoditas di pasar domestik tetap terjaga dengan harga yang terjangkau tetapi pada saat yang sama kinerja ekspor bisa terus optimal,” tutur Shinta.
Menurut dia, untuk target pasar ekspor yang potensial tentu saja China dan Asia Pasifik, khususnya untuk komoditas batu bara, CPO, biofuel dan besi baja.
Sementara, untuk pasar Eropa dan Amerika Serikat, lanjut Shinta, sebetulnya juga cukup menjanjikan sebagai target pasar ekspor komoditas energi (khususnya LNG & biofuel) dan besi-baja selama standar-standar pasarnya terpenuhi
“Untuk komoditas tambang seperti nikel dan emas karena pasar-pasar tersebut sedang high alert terhadap bahaya inflasi/krisis ekonomi sehingga konsumsi emasnya dalam jangka pendek kemungkinan akan naik,” ujarnya.
Adapun untuk pasar-pasar non-tradisional juga bisa terus diintensifkan ekspornya khususnya untuk menyuplai batu bara dan CPO.
“CPO dan batu barau sebagai subtitusi atau diversifikasi supply komoditas energi yang disuplai rusia dan komoditas minyak nabati yang diekspor ukraina, di samping ekspor produk-produk bernilai tambah seperti mamin, pakaian, komponen elektronik, dan lain-lain,” pungkas Shinta.