Bisnis.com, JAKARTA - Kedatangan era kenaikan suku bunga acuan tidak akan bisa dihindari setelah gelombang inflasi menghampiri banyak negara. Pemerintah di dunia harus segera bertanggung jawab untuk mengamankan pertumbuhan ekonomi.
Managing Director Bank for International Settlements (BIS) Agustin Carstens mengatakan kenaikan harga di negara maju dan berkembang akan bertahan untuk beberapa saat.
Kondisi itu muncul pada saat pasar tenaga kerja ketat dan berlangsungnya tren deglobalisasi.
Kepala dari lembaga keuangan yang sering disebut bank sentralnya bank sentral ini menegaskan pembuat kebijakan tidak lagi memiliki kelonggaran untuk mendukung pertumbuhan dan ketenagakerjaan.
Untuk itu, perlunya perubahan paradigma di bank sentral. "Mendorong pertumbuhan jangka panjang yang tangguh tidak dapat bergantung pada stimulus ekonomi makro yang berulang, baik itu moneter atau fiskal," katanya, seperti dikutip Bloomberg pada Selasa (5/4/2022).
Menurutnya, hal itu hanya dapat dicapai melalui kebijakan struktural yang memperkuat kapasitas produktif perekonomian.
Baca Juga
Carstens memperingatkan munculnya ketidakpastian pada sinyal inflasi terhadap pengukur pasar di AS dan sebagian besar Eropa.
Sementara itu, kenaikan biaya di satu sektor meluas ke sektor lain, pertumbuhan upah meningkat dan kemunduran globalisasi mengurangi tekanan disinflasi.
Dia mengatakan sudah jelas bahwa tingkat suku bunga kebijakan perlu naik level agar menyesuaikan kondisi inflasi yang lebih tinggi.
"Kemungkinan besar, ini akan membutuhkan suku bunga riil untuk naik di atas level netral untuk sementara waktu supaya memoderasi permintaan," ungkapnya.
Seperti diketahui, gelombang kenaikan inflasi terjadi di berbagai belahan dunia. Kondisi itu mendesak bank sentral untuk meninggalkan kebijakan moneter yang longgar setelah merespons pandemi.
"Kita tidak boleh berpikir bahwa tekanan inflasi akan segera berakhir. Memang, dampak penuh harga dari disrupsi pada 2021 masih terjadi dalam sistem," ujarnya.
Alasannya, katanya, konsumen masih lebih banyak membeli barang ketimbang jasa. Sementara itu, kemacetan pada logistik masih terus berlangsung.
Ditambah lagi, perang Rusia di Ukraina memicu kenaikan biaya makanan dan komoditas sehingga berdampak pada bisnis dan rumah tangga dan rantai pasok global semakin tercekik.