Perekonomian dunia tengah menghadapi berbagai tantangan yang tertubi-tubi mulai pandemi Covid-19 yang tak kunjung usai, perang Rusia–Ukraina, kenaikan harga komoditas energi dan pangan, disrupsi rantai pasok akibat gangguan supply produk-produk dari Rusia dan Ukraina, sampai dengan percepatan normalisasi kebijakan moneter di negara maju terutama di Amerika Serikat.
Semua hal ini mengakibatkan tekanan pada inflasi global serta berpotensi menurunkan pertumbuhan PDB global. Walaupun masih terus melanjutkan pemulihannya, yang ditandai dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 3,7% pada 2021, dan diperkirakan akan tumbuh dalam rentang 4,8%—5,5% pada 2022, ekonomi domestik harus terus dijaga dari dampak tantangan-tantangan tersebut.
Salah satu cara untuk menjaga pemulihan ekonomi domestik adalah dengan menggunakan APBN yang terbukti telah berperan sangat besar untuk memulihkan perekonomian Indonesia. APBN akan makin efektif jika didukung oleh penerimaan perpajakan yang kuat, karena perpajakan memiliki peran sangat vital dalam pembangunan.
Oleh karena itu, reformasi perpajakan dibutuhkan untuk menciptakan sebuah sistem perpajakan yang adil, sehat, efektif, dan akuntabel. Reformasi ini salah satunya diwujudkan dengan keluarnya Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Reformasi yang menonjol dalam UU HPP adalah menciptakan rezim perpajakan yang adil, khususnya dalam hal beban pajak yang harus ditanggung oleh wajib pajak, serta keberpihakan dalam mendukung penguatan usaha mikro kecil menengah (UMKM).
Keadilan dan keberpihakan ditunjukkan di dalam perubahan peraturan UU Pajak Penghasilan (PPh) dan UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Dari sisi PPh, keadilan dan keberpihakan pemerintah, ditunjukkan dengan (i) memberikan batasan peredaran bruto usaha tidak kena pajak sebesar Rp500 juta bagi WP Orang Pribadi (WP OP) UMKM, (ii) tetap mempertahankan diskon tarif sebesar 50% yang dikenakan atas penghasilan kena pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp4,8 miliar yang diterima oleh Wajib Pajak Badan yang mempunyai omzet sampai dengan Rp50 miliar.
Selanjutnya, (iii) lapisan tarif terendah PPh OP sebesar 5% yang awalnya berlaku untuk penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) hingga 50 juta dinaikkan menjadi 60 juta, (iv) menambah satu lapisan tarif PPh OP tertinggi yaitu 35% untuk penghasilan WP OP yang di atas Rp5 miliar per tahun, (v) perluasan basis pajak dengan menerapkan pajak atas natura (fringe benefit), dan (vi) tetap mempertahankan tarif PPh badan sebesar 22% mulai Tahun Pajak 2022.
Dengan ketentuan tersebut, maka mulai 2022, WP OP UMKM yang mempunyai omzet sampai dengan Rp500 juta tidak akan dikenakan PPh. Selain itu, beban pajak bagi WP OP dengan penghasilan kena pajak sampai dengan Rp5 miliar akan berkurang. Sebagai contoh, perhitungan PPh untuk WP OP yang berstatus lajang dan tidak mempunyai tanggungan keluarga dengan penghasilan Rp10 juta per bulan atau Rp120 juta setahun akan berkurang sebesar Rp1 juta/tahun.
Apabila dengan aturan sebelumnya WP OP tersebut harus membayar sebesar Rp4,9 juta/tahun maka dengan aturan yang baru, WP OP tersebut cukup hanya membayar sebesar Rp3,9 juta/tahun. Sebaliknya, bagi WP OP sangat kaya yang mempunyai penghasilan di atas Rp5 miliar, beban pajak nya akan makin besar.
Sementara itu, keadilan dan keberpihakan pada sisi PPN dilakukan dengan tetap melindungi masyarakat kecil melalui fasilitas pembebasan PPN terhadap barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, pendidikan, pelayanan sosial, dan lainnya. Kenaikan tarif PPN dari 10% menjadi 11% yang berlaku mulai 1 April 2022 juga tetap memperhatikan kondisi masyarakat. Sebagai perbandingan, tarif rata-rata PPN di dunia saat ini adalah 15%. Kenaikan tarif tersebut dimaksudkan untuk memenuhi rasa keadilan dan memperkuat fungsi pajak sebagai instrumen redistribusi pendapatan.
Peran APBN dalam melindungi masyarakat miskin dan rentan juga dilakukan dari sisi belanja, melalui penguatan berbagai program perlindungan sosial, antara lain percepatan penyaluran kartu sembako, PKH, BLT Desa, Bantuan Tunai PKL Warung dan Nelayan, serta Kartu Prakerja.
Reformasi perpajakan yang diusung UU HPP diperkirakan dapat meningkatkan rasio pajak hingga menjadi diatas 9% PDB pada 2022 dan lebih dari 10% PDB pada 2025. Dengan demikian, pajak akan lebih mampu berperan dalam pembiayaan pembangunan, termasuk untuk melindungi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan sesuai amanat konstitusi.