Bisnis.com, JAKARTA — Negara miskin di dunia harus membayar utang US$52,8 miliar pada tahun ini, seperti dilaporkan dalam sebuah riset yang mendesak China untuk memberikan bantuan restrukturisasi.
Dilansir Bloomberg pada Senin (21/3/2022), hal itu seperti dilaporkan dalam penelitian Green Finance & Development Center di Fudan University, Shanghai.
Hingga akhir 2020, 68 negara ini telah meminjam sekitar US$110 miliar kepada berbagai lender yang tersebar di China melalui utang bilateral resmi. Angka itu naik dari US$105 miliar pada 2019.
Untuk itu, China menjadi kreditur tunggal terbesar setelah International Development Association, anggota World Bank.
Dalam riset ini, total sebanyak 68 negara ini harus membayar biaya utang senilai US$14 miliar.
Pembayaran biaya kepada kreditur China bahkan sudah melebihi 2 persen dari pendapatan kotor nasional di delapan negara pada 2022.
Angola menjadi yang terparah dengan porsi pinjaman 5 persen dari pendapatan nasionalnya, termasuk bunga dan pokok pinjaman sebelumnya.
"[China] memiliki tanggung jawab dan kesempatan yang lebih besar untuk menyediakan dukungan bilateral dan multilateral untuk restrukturisasi utang daripada negara lainnya," ungkap penulis riset, Yue Mengdi dan Christoph Nedopil Wang.
Sementara itu, pemberi pinjaman dari negar alain juga harus lebih transparan dan jelas tentang ukuran total pinjaman China, kata mereka.
Pada akhir 2020, Pemerintah China mengatakan telah menangguhkan persyaratan pembayaran utang atas lebih dari US$2 miliar utang di bawah upaya internasional untuk membantu negara-negara miskin yang terbebani pandemi.
Namun, inisiatif itu berakhir pada Desember tahun lalu. Secara total, pemberi pinjaman China menangguhkan pembayaran US$ 5,7 miliar.
Hal itu menurut sebuah laporan pada akhir 2021 oleh Jubilee Debt Coalition, kumpulan organisasi di Inggris yang menyuarakan penghapusan utang bagi negara miskin.