Bisnis.com, JAKARTA - Koalisi NGO untuk Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan (KORAL) menolak penerapan sistem kontrak yang tercantum dalam kebijakan Penangkapan Ikan Terukur versi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Beleid baru itu diketahui masih digodok dan perlu mendapatkan pandangan akhir dari Presiden. Bagi KORAL, aturan baru itu mendegradasi peran negara karena menjadi sejajar dengan pelaku usaha perikanan.
Salah satu hal yang disoroti KORAL soal sistem kontrak dalam pemanfaatan sumber daya perikanan. Sistem kontrak mengacu pada kerja sama pemanfaatan sumber daya ikan antara KKP dengan badan usaha di zona tertentu selama 15 tahun dan dapat diperpanjang satu kali.
Menurut Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI yang tergabung dalam KORAL, adanya sistem kontrak tersebut akan menghilangkan fungsi pengaturan dari negara, terlebih kontraknya itu bisa diperpanjang selama sekali sehingga berdurasi 30 tahun.
“KORAL, peran dan fungsi negara dalam pengelolaan SDA termasuk perikanan harus tetap ada. Negara berhak mengeluarkan perizinan termasuk memiliki kewenangan mencabut fasilitas perizinan (vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi (concessie). Pasalnya laut dan sumber alam di dalamnya terkait dengan hajat hidup rakyat banyak,” kata Parid, Selasa, (15/3/2022).
Ketimbang memaksakan penerbitan Kebijakan Penangkapan Ikan secara terukur lewat sistem kontrak, KKP seharusnya fokus menuntaskan beberapa persoalan utama, misalnya membangun kebijakan pemulihan semua stok kelompok jenis ikan di wilayah perikanan yang mengalami overfishing dan menyusun skema kebijakan penyelamatan wilayah pesisir.
Baca Juga
Sementara itu, Fadilla Octaviani, Direktur Dukungan Penegakan Hukum Indonesia Ocean Justice Initiative mendorong pemerintah fokus pada penguatan komunitas nelayan dan masyarakat pesisir, utamanya dalam merespon dampak buruk krisis iklim yang dapat berakibat kepada ketahanan pangan.
Laporan terbaru Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada 28 Februari 2022 menyebutkan peningkatan suhu akan memaksa ikan berpindah dari wilayah tropis, mengurangi pendapatan nelayan tradisional dan atau nelayan skala kecil di Indonesia sebesar 24 persen.
Kebijakan penangkapan ikan terukur yang menyetarakan nelayan kecil dengan pelaku usaha, lanjut Fadilla, justru akan membuat perekonomian nelayan tradisional semakin terpuruk dengan sulitnya mendapatkan ikan di laut.
“Terkait tindakan perlindungan dari dampak perubahan iklim terhadap nelayan atau komunitas warga pesisir dan menjalankan mandat UU No. 7 Tahun 2016, pemerintah memiliki kewajiban untuk menyusun skema perlindungan dan pemberdayaan nelayan tradisional, mulai dari sarana prasarana, aksesnya, jaminan risiko penangkapan ikan hingga penyuluhan dan pendampingan,” jelasnya.
Suhana, Wakil Sekretaris Pandu Laut yang juga bagian dari KORAL meminta pemerintah mengevaluasi kebijakan tersebut. Menurutnya, jika kebijakan perikanan terukur diberlakukan dan nelayan kecil tidak mendapatkan kuota penangkapan, praktis akan mengganggu rantai pasok ikan.
Sementara dari hasil sensus ekonomi BPS (2016) terlihat bahwa suplai ikan nasional 98,88% berasal dari dalam negeri. Rantai pasok pangan perikanan domestik sangat bergantung kepada kelompok nelayan, koperasi nelayan dan usaha perorangan.