Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah sepakat untuk menaikkan tarif PPN secara bertahap, yaitu menjadi 11 persen mulai 1 April 2022 dan 12 persen pada 1 Januari 2025.
Meskipun kebijakan tersebut telah disahkan dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), keputusan ini masih menjadi pro dan kontra di tengah masyarakat.
Bahkan, banyak pihak meminta agar kebijakan tersebut ditunda. Akan tetapi, ahli pajak menyampaikan bahwa kebijakan tersebut tidak dapat ditunda alias harus dijalankan lantaran telah disetujui oleh DPR.
Pendiri PT Pratama Indomitra Konsultan Prianto Budi Saptono mengatakan sebelumnya memang sempat ada wacana penundaan akibat dampak inflasi.
Namun, dia menilai inflasi bisa terjadi lantaran secara otomatis konsumsi masyarakat akan bertambah.
"Tapi ternyata inflasi ini kan tidak terlalu berpengaruh untuk barang kebutuhan pokok, kesehatan, pendidikan yang memang banyak dikonsumsi oleh masyarakat bawah. Kenapa? Karena jasa pendidikan, kesehatan dan kebutuhan pokok ini kan nantinya akan menjadi objek PPN tapi dibebaskan. Itu saya melihatnya," katanya kepada Bisnis, Senin (14/3/2022).
Baca Juga
Di lain sisi, Prianto justru melihat kenaikan tarif PPN 11 persen menjadi satu solusi untuk meningkatkan tax ratio, disamping solusi perluasan objek PPN setelah pendapatan penerimaan pajak dari PPh.
"Perluasan objek PPN setelah pendapatan penerimaan pajak dari PPh itu sudah sulit untuk di upgrade. Kesulitan ini disebabkan oleh perilaku aggressive tax planning," paparnya.
Senada dengan Prianto, Dosen Ilmu Hukum Pajak Fakultas Hukum UGM Adrianto Dwi Nugroho menyampaikan kenaikan tarif PPN menjadi 11 persen telah disetujui DPR, sehingga harus dijalankan.
Adrianto menjelaskan, karena PPN menggunakan masa pajak, maka tidak perlu menunggu satu tahun pajak penuh sebelum dapat diberlakukan, sebagaimana halnya dalam hal kenaikan tarif PPh.
Dengan demikian, dia menegaskan ketentuan tersebut dapat diberlakukan pada 1 April 2022.